ISTILAH DALAM FARMAKOLOGI
Ada 3 jenis
pengobatan yaitu:
1. Terapi Kausal adalah pengobatan dengan cara meniadakan atau memusnahkan
penyebab penyakitnya, misalnya sulfonamid, antibiotika, obat malaria, dan
sebagainya
2. Terapi Simptomatis adalah pengobatan untuk menghilangkan atau meringankan
gejala penyakit, sedangkan penyebab yang lebih mendalam tidak dipengaruhi,
misalnya pemberian analgetik pada reumatik atau sakit kepala
3. terapi Subtitusi adalah pengobatan dengan cara menggantikan zat-zat yang
seharusnya dibuat oleh organ tubuh yang sakit, misalnya insulin pada penderita
diabetes dan tiroksin pada penderita hipotiroid
PLASEBO
adalah sebuah pengobatan yang tidak berdampak atau penanganan palsu yang
bertujuan untuk mengontrol efek dari pengharapan
Tujuan dari Plasebo yaitu :
1. Pengobatan sugesti, kadangkala memberikan efek yang mengagumkan pada pasien
yang kecenduan maupun obat-obat narkotika dan psikotropika lainnya maupun
penderita kanker stadiumakhir
2. Uji klinis, digunakan pada tahap akhir dalam rangkaian penelitian suatu obat
baru yang akan dinilai efek farmakologisnya
3. Pelengkap dan penggenap pil KB, bertujuan agar pasien tida terlupa menelan
pil Kb pada saat menstruasi
EFEK YANG TIDAK DIINGINKAN
a. Efek Samping adalah segala pengaruh obat yang tidak diinginkan pada tujuan
terapi yang dimaksud, pada dosis normal
b. Ideosinkrasi adalah peristiwa dimana suatu obat memberikan efek yang sama
sekali berlainan dari efek normalnya
c. Alergi adalah peristiwa hipersensitif akibat pelepesan histamin di dalam
tubuh atau terjadinya reaksi khusus antara antingen-antibodi.
d. Fotosensitasi adalah kepekeen berlebihan terhadap cahaya akibat penggunaan
obat.
EFEK TOKSIK
adalah efek yang m,enimbulkan keracunan pada pasien akibat penggunaan
dosis maksimal yang berlebih
TOLERANSI, HABITUASI, DAN ADIKSI
- Toleransi Obat adalah peristiwa dimana dosis obat harus dinaikkan terus
menerus untuk mencapai efek terapeutik yang sama.
Macam macam Toleransi Obat :
1. Toleransi Primer ( bawaan ), terdapat pada sebagian orang dan binatang
tertentu, misalnya kelinci sangat toleran untuk antropin.
2. Toleransi Sekunder, yang bisa timbul setelah menggunakan suatu obat selama
beberapa waktu.
3. Toleransi Silang, dapat terjadi antara zat zat dengan struktur kimia serupa
(misalnya : fenobarbital dan butobarbital), atau kadang kadang antara zat zat
yang berlainan misalnya alkohol dan barbital.
4. Tachyphylaxis adalah toleransi yang timbul dengan pesat sekali, bila obat
diulangi dalam waktu singkat.
-Habituasi / kebiasaan adalah kebiasaan dalam mengkonsumssi suatu obat.
Habituasi dapat terjadi melalui beberapa cara yaiti dengan induksi enzim,
reseptor seunder, dan penghambatan resorpsi.
-Adiksi / Ketagihan yakni adanya ketergantungan jasmaniah dan rohaniah dan bila
pengobatan dihentikan dapat menimbulkan efek hebat secara fisik dan mental.
RESISTENSI BAKTERI adalah suatu keadaan dimana bakteri telah menjadi kebal
terhadap obat karena memiliki daya tahan yang lebih kuat.
KOMBINASI OBAT
Dua obat yang digunaan bersamaan, kerjanya dapat berupa :
# Antagonisme, dimana kegiatan obat pertama dikurangi atau ditiadakan sama
sekali oleh obat kedua.
# Sinergisme, dimana kekuatan obat saling memperkuat, Ada 2 jenis :
a. Adisi / sumasi adalah kekuatan obat saling memperkuat
kombinasi kedua obat adalah sama dengan jumlah masing masing kekuatan obat
tersebut.
b. Potensiasi adalah kekuatan kombinasi kedua obat lebih
besar dari jumlah kedua obat tersebut.
Keuntungan Kombinasi Obat :
- Menambah kerja terapeutik tanpa menembah efek buruk dan mengurangi
toksisistas masing masing obat, misalnya Trisulfa
- Menghambat terjadinya resistensi, misalnya Rifampisin dan Isoniasid
- Memperoleh potensiasi misalnya Kotrimoksazol
Kerugian Kombinasi Obat :
- Pemborosan
- Takaran masing masing obat belum tentu sesuai dengan kebutuhan, sedangkan
takaran obat tidak dapat diubah tanpa mengubah pula dosis obat lainnya
- Manfaat tidak memenuhi syarat
- Mempermudah terjadinya resistensi terhadap beberapa spesies kuman.
Farmakokinetik
Farmakokinetik
adalah cabang farmakologi yang dikaitkan dengan penentuan nasib obat dalam
tubuh,
yang mencakup absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Efektivitas suatu senyawa obat pada pemakaian
klinik berhubungan dengan farmakokinetik suatu senyawa dari suatu bentuk
sediaan yang ditentukan oleh ketersediaan hayatinya (bioavailabilitasnya).
Absorpsi merupakan proses penyerapan obat dari tempat pemberian, menyangkut
kelengkapan dan kecepatan proses. Pada klinik pemberian obat yang terpenting
harus mencapai bioavaibilitas yang menggambarkan kecepatan dan kelengkapan
absorpsi sekaligus metabolisme obat sebelum mencapai sirkulasi sistemik. Hal
ini penting, karena terdapat beberapa jenis obat tidak semua yang diabsorpsi
dari tempat pemberian akan mencapai sirkulasi sistemik, namun akan
dimetabolisme oleh enzim didinding usus pada pemberian oral atau dihati pada
lintasan pertamanya melalui organ- organ tersebut. Setelah diabsorpsi obat akan
didistribusi keseluruh tubuh melalui sirkulasi darah, karena selain tergantung
dari aliran darah, distribusi obat juga ditentukan oleh sifat fisikokimianya.
Distribusi obat dapat dibedakan menjadi 2 fase berdasarkan penyebaran didalam
tubuh, yaitu :
a. Distribusi fase pertama terjadi segera setelah
penyerapan, yaitu ke organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati,
ginjal dan otak.
b. Distribusi fase kedua jauh lebih luas lagi, yaitu
mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ pada fase pertama,
misalnya pada otot, visera, kulit dan jaringan lemak.
Biotransformasi atau lebih
dikenal dengan metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia obat
yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini molekul
obat diubah menjadi lebih polar atau lebih mudah larut dalam air dan kurang
larut dalam lemak, sehigga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Eliminasi
obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi (dalam bentuk asalnya). Obat (metabolit polar)
lebih cepat diekskresi daripada obat larut lemak, kecuali yang melalui paru.
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting dan ekskresi disini resultante
dari 3 proses, yaitu filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubuli proksimal,
dan reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.
Faktor Klinis
Faktor klinis terbagi menjadi dua,
yaitu faktor klinis yang di pengaruhi oleh pasien, dan juga yang dipengaruhi
oleh terapi. Faktor klinis yang dipengaruhi oleh pasien menyangkut
beberapa hal, antara lain faktor Umur. Kebanyakan obat digunakan oleh
banyak orang dari berbagai tingkatan umur, hal ini mempengaruhi regimen dosis.
Pada anak-anak. Secara umum jalur
eliminasi obat (hepar dan ginjal) sangat minim pada bayi yang baru lahir, dan
juga pada bayi yang premature. Hal ini disebabkan karena factor fisiologis dari
bayi yang tidak biasa, dimana dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan dari
terapi.
Jalur kliren obat sangat dipengaruhi
oleh perubahan fisiologi (bayi, premature, dan saat pubertas). Pada
perkembangan bayi di tahun pertama, kliren metabolit obat sangat minim. Pada
saat pubertas kliren akan mengalami penurunan lebih cepat pada perempuan
daripada pada laki-laki.
Perbedaan farmakodinamik ditemukan
antara anak-anak dan orang dewasa hal ini dapat mempengaruhi outcome terapi
yang tidak diinginkan, dan juga adverse effect. Namun tidak selamanya
penggunaan obat pada anak-anak dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan.
Contohnya, sekalipun pada penggunaan asam valproic pada anak-anak dapat
menimbulkan hepatotoksik lebih tinggi dibanding pada orang dewasa, namun pada
penggunaan isoniasid dan asetaminofen, efek hepatotoksisitasnya lebih rendah.
Pada orang tua. Perubahan
farmakokinetik di dalam tubuh merupakan hasil dari perubahan komposisi tubuh
dan fungsi dari organ eliminasi. Pengurangan masa tubuh, albumin serum,total
air di dalam tubuh, dan peningkatan jumlah lemak di dalam tubuh mempengaruhi
perubahan distribusi obat (hubungannya dengan solubilitas di dalam lemak serta
ikatannya dengan protein). Pada orang tua kliren mengalami penurunan, hal ini dikarenakan
fungsi ginjal yang menurun sekitar 50%. Aliran darah pada hepar dan fungsi dari
enzim pemetabolisme obat juga menurun pada orang tua. Eliminasi dari obat
meningkat sebagai akibat dari volume distribusi yang meningkat (lipid-soluble
drugs) dan atau berkurangnya fungsi ginjal atau kliren metabolit.
Perubahan
farmakodinamik juga merupakan faktor penting dalam pengobatan pada orang tua.
Perubahan fisiologis dan berkurangnya homeostasis dapat menyebabkan peningkatan
sensitifitas terhadap efek obat yang tidak diinginkan. Sebagai contoh,
terjadinya hipotensi dari pengobatan psikotropik, dan hemorrhage dari
pengobatan antikoagulan.
Keberadaan status penyakit yang lain. Hal ini juga
mempengaruhi regimen dosis. Sebagai contoh pengobatan pada orang yang memiliki
gangguan pada ginjal berbeda dengan pengobatan pada orang normal, hal ini
dikarenakan gangguan ginjal menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sehingga dapat
menurunkan kliren metabolit obat dalam tubuh. Oleh karena itu perlu adanya
penyesuaian dosis, sehingga tidak terjadi efek toksis, karena peningkatan kadar
obat dalam darah. Selain itu pada orang yang memiliki kelainan pada hepar, juga
perlu adanya penyesuaian dosis obat, hal ini dikarenakan fungsi utama hepar
sebagai organ pemetabolisme mengalami penurunan, sehingga apabila tidak
disesuaikan dosisnya, dapat menimbulkan toksisitas atau ketidak tercapaian efek
terapi.
Faktor terapi. Faktor ini
berhubungan dengan terapi dan berbagai macam obat, dimana pemberian tersebut
dapat menimbulkan interaksi antar obat. Interaksi antar obat merupakan
aktivitas dari obat yang dapat mengubah intensitas efek farmakologi obat
lainnya yang diberikan secara bersamaan. Pengaruh yang ditimbulkan dapat
meningkatkan maupun mengurangi efek dari obat tersebut.
Faktor lain
· Rute Pemberian
Injeksi intravena tidak memerlukan absorpsi obat namun
apabila rute pemberian secara per oral, obat harus mengalami absorbsi,
distribusi, biotransformasi yang menyebabkan obat tersebut diperlukan
penyesuaian dosis agar efek terapetik yang diinginkan tercapai.
· Bentuk Sediaan
Formulasi sediaan obat juga berhubungan dengan rute
pemberian obat, apabila bentuk tablet yang digunakan per oral diperlukan
perkiraan dosis yang tepat karena panjangnya rute perjalanan obat yang dilalui
secara per oral dan terjadinya first pass pada hepar.
· Tolerance-dependence
Toleransi dapat terjadi sebagai hasil dari penginduksian
sintesis pada enzim mikrosomal hepar yang terlibat dalam biotransformasi obat.
Faktor yang terpenting pada pengembangan toleransi terhadap opioid,
barbiturate, etanol, dan nitrat organic yang merupakan jenis dari adaptasi
selular yang dikenal dengan istilah toleransi farmakodinamik; banyak mekaisme
yang mempengaruhi, termasuk perubahan jumlah, afinitas, atau fungsi dari
reseptor obat maka diperlukan penyesuaian dosis agar dosis terapi yang
digunakan masih berada dalam jendela terapetik.
· Pharmacogenetics-idiosyncracy
Idiosinkrasi didefinisikan sebagai factor genetic yang
menimbulkan reaksi abnormal suatu senyawa kimia, contohnya, banyak pria kulit
hitam (sekitar 10%) mengalami anemia hemolitik yang serius ketika mereka
mengkonsumsi primakuin sebagai terapi antimalaria.
· Interaksi Obat
Interaksi obat dapat
mengubah respon terapi pasien sehingga diperlukan perhatian khusus ketika
terjadi perubahan dalam penyesuaian dosis, dan obat yang tidak dibutuhkan tidak
diteruskan penggunaannya. Interaksi obat seringkali digunakan secara efektif
dengan adanya penyesuaian dosis atau modifikasi terapetik lainnya.
· Harga
Harga merupakan hal
yang crusial apalagi bagi sebagian pasien yang berasal dari golongan menengah
kebawah. Sehingga, seorang dokter dapat melakukan penyesuaian dosis yang
memungkinkan keterjangkauan harga terhadap pasien tersebut.
Pengertian Farmakodinamik
Definisi farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari efek
biokimiawi dan fisiologi obat serta mekanisme kerjanya. Selanjutnya akan kita
bicarakan lebih mendalam tentang farmakodinamik obat.
Tujuan mempelajari mekanisme
kerja obat adalah:
1. Meneliti efek utama obat
2. Mengetahui interaksi obat
dengan sel
3. Mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respon yang terjadi
Efek obat umumnya timbul karena
interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme. Interaksi obat dengan
reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan
respons yang khas untuk obat tersebut.
Reseptor Obat
Reseptor adalah makromolekul
((biopolimer)khas atau bagiannya dalam organisme yakni tempat aktif obat
terikat.
Komponen yang paling penting
dalam reseptor obat adalah protein. struktur kimia suatu obat berhubungan erat
dengan affinitasnya terhadap reseptor dan aktivitas intrinsiknya, sehingga
perubahan kecil dalam molekul obat dapat menimbulkan perubahan yang besar
Interaksi Obat - Reseptor
persyaratan untuk obat - reseptor adalah pembentukan kompleks obat
reseptor. apakah kompleks ini terbentuk dan seberapa besar terbentuknya
tergantung pada affinitas obat terhadap reseptor. kemampuan obat untuk
menimbulkan suatu rangsang dan membentuk kompleks dengan reseptor disebut aktivitas
intrinsik. Agonis adalah obat yang memilki baik afinitas dan aktivitas
intrinsik. Pada teori reseptor obat sering dikemukakan bahwa efek obat hanya
dapat terjadi bila terjadi interaksi molekul obat dengan reseptornya. Lebih
mudahnya dirumuskan seperti ini.
Obat (O) + Reseptor (R) -->
Kompleks obat reseptor (OR) ---> Efek
Efek Terapeutik
Tidak semua obat bersifat
betul-betul menyembuhkan penyakit, beberapa obat memang dibuat hanya untuk
meniadakan atau meringankan gejala suatu penyakit. Berikut ini adalah tiga
jenis terapi obat:
- Terapi Kausal,
obat yang berfungsi untuk memusnahkan penyebab penyakit, obat inilah yang
digunakan untuk menyembuhkan penderita dari penyakit. contoh obat dengan
terapi kausal adalah antibiotik, anti malaria dan lain-lain.
- Terapi
simptomatis, obat ini berguna untuk meringankan gejala dari suatu
penyakit. contoh obat jenis ini adalah analgesik, antipiritik, anti emetik
dan sebagainya.
- Terapi
subtitusi, obat yang digunakan untuk mengantikan zat yang lazim diproduksi
oleh tubuh.
faktor-faktor yang mempengaruhi
khasiat obat
Faktor-faktor yang
menentukan cara transport obat lintas membran yaitu :
Sifat fisiko-kimia obat : bentuk dan ukuran molekul, kelarutan dalam air,
kelarutan dalam lemak, derajat ionisasi
Bioavailabilitas : adalah ( ketersediaan hayati )
Jumlah obat ( dalam persen terhadap dosis ) yang mencapai sirkulasi sistemik
dalam bentuk utuh / aktif.
Ketersediaan hayati digunakan untuk memberi gambaran mengenai keadaan dan
kecepatan obat diabsorpsi dari bentuk sediaan.
Ketersediaan hayati suatu obat dapat diukur pada pasien ( secara in vivo )
dengan menentukan kadar obat dalam plasma darah dengan interval setiap jam
sampai diperoleh kadar puncak dan kadar obat minimum yang masih berefek
Obat yang menghasilkan kadar obat sama antara kadar dalam darah dan dalam
jaringan, disebut mempunyai bioekivalensi . Bila tidak sama, disebut mempunyai
bioinekivalensi. Bila bioinekivalensinya lebih dari 10 % menimbulkan
inekivalensi terapi, terutama obat-obat yang indeks terapinya sempit ( dosis
terapi hampir sama dengan dosis toksik )
Tidak semua jumlah obat yang diabsorpsi dari tempat pemberian akan mencapai
sirkulasi sistemik. Banyak faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat,
terutama bila diberikan per oral, kemungkinan obat dirusak oleh reaksi asam
lambung atau oleh enzim-enzim dari saluran gastrointestinal
CARA PEMBERIAN OBAT
a. Cara pemberian obat per oral :
Cara ini paling umum dilakukan karena mudah, aman dan murah. Namun untuk obat
yang diberikan melalui oral, ada tiga faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas
:
1. Faktor obatnya sendiri (larut dalam lipid, air atau keduanya)
2. Faktor penderita ( keadaan patologik organ-organ pencernaan dan metabolisme
)
3. Interaksi dalam absorpsi di saluran cerna. ( interksi dengan makanan )
( dapat dilihat dalam Tabel 1-1 halaman 4 , Ganiswara S.G . Farmakologi dan
Terapi`)-Ã sebagai tugas mandiri.
b. Cara pemberian obat melalui suntikan :
Keuntungan pemberian obat secara parenteral dibandingkan per oral, yaitu :
1. Efeknya timbul lebih cepat dan teratur
2. Dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif, tidak sadar atau
muntah-muntah
3. Sangat berguna dalam keadaan darurat
Kelemahan cara pemberian obat melalui suntikan :
1. Dibutuhkan cara aseptis
2. Menyebabkan rasa nyeri
3. Kemungkinan terjadi penularan penyakit lewat suntikan
4. Tidak bisa dilakukan sendiri oleh penderita
5. Tidak ekonomis
c. Pemberian Obat Melalui Paru-paru :
Cara ini disebut cara inhalasi, hanya dilakukan untuk obat yang berbentuk gas
atau cairan yang mudah menguap, misalnya anestetik umum dan obat dalam bentuk
aerosol. Absorpsi melalui epitel paru dan mukosa saluran napas
Keuntungan :
1. Absorpsi terjadi secara cepat karena permukaan absorpsinya luas
2. Terhindar dari eliminasi lintas pertama di hati
3. Obat dapat diberikan langsung pada bronchus ( untuk asma bronchial )
Kelemahan :
1. Diperlukan alat dan metoda khusus yang agak sulit ( obat semprot untuk asma)
2. Sukar mengukur dosis (karena ukurannya: berapa kali semprotan sekali pakai)
3. Obatnya sering mengiritasi epitel paru
d. Pemberian Topikal
Pada kulit : Jumlah obat yang diserap tergantung : - (1) pada luas permukaan
kulit yang terpejan; - (2) kelarutan obat dalam lemak; -( 3 ) dapat
ditingkatkan absorpsinya dengan membuat suspensi obat dalam lemak.
DISTRIBUSI
Distribusi obat terjadi melalui dua fase berdasarkan penyebarannya. Yaitu :
1. Distribusi fase pertama : yaitu ke organ-organ yang perfusinya sangat baik (
jantung, hati, ginjal dan otak ), terjadi segera setelah penyerapan, selanjutnya
2. Distribusi fase kedua : yaitu ke organ-organ yang perfusinya tidak begitu
baik ( otot, visera, kulit, dan jaringan lemak ).
Obat yang mudah larut dalam lemak akan melintasi membrane sel dan terdistribusi
ke dalam sel, obat yang tidak larut dalam lemak sulit menembus membrane sel
sehingga distribusinya terbatas terutama di cairan ekstrasel. Distribusi
terbatasi oleh ikatan obat pada protein plasma. dan hanya obat bebas yang dapat
berdifusi kedalam sel dan mencapai keseimbangan;
Obat dapat terakumulasi di dalam sel jaringan karena ditransport secara aktif
atau lebih sering karena berikatan dengan konponen intrasel ( protein,
fosfolipid, atau nukleoprotein )
Distribusi obat ke SSP sulit terjadi, karena obat harus menembus sawar khusus
yaitu sawar darah –otak . Endotel kapiler otak tidak mempunyai ruang antar sel
maupun vesikel pinositosik, karena itu kemampuan obat untuk menembus sawar
darah-otak hanya ditentukan oleh dan sebanding dengan kelarutan bentuk non ion
dalam lemak.
Obat yang seluruhnya atau hampir seluruhnya dalam bentuk ion, misalnya ammonium
kuaterner atau penisilin, dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke otak dari
darah.
Semua obat yang diterima oleh ibu hamil akan masuk ke sirkulasi janin melalui
sawar uri yang memisahkan darah ibu dan darah janin, yang tidak berbeda dengan
sawar saluran cerna
BIOTRANSFORMASI
Biotransformasi atau metabolisme obat, adalah proses perubahan struktur kimia
obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.
Pada proses biotransformasi :
(1) molekul obat diubah menjadi lebih polar sehingga mudah diekskresi melalui
ginjal
(2) pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga proses biotransformasi sangat
berperan dalam mengakhiri kerja obat
(3) ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik
(4) ada obat yang merupakan calon obat ( pro drug ) yang baru aktif setelah
mengalami biotransformasi oleh enzim tertentu menjadi metabolt aktif yang
selanjutnya akan mengalami biotransformasi lebih lanjut atau diekskresi
sehingga kerjanya berakhir
Reaksi-reaksi biotransformasi yang terjadi dapat dibedakan atas :
(1) reaksi fase I dan ; (2) reaksi fase II
Reaksi fase I ialah : oksidasi, reduksi dan hidrolisis, yang mengubah obat
menjadi metabolit lebih polar yang bersifat inaktif, kurang atau lebih aktif
dari bentuk aslinya.
Reaksi fase II ( disebut reaksi sintetik ) : merupakan konjugasi obat atau
metabolit hasil reaksi fase I dengan substrat endogen misalnya asam glukuronat,
sulfat asetat atau asam amino. Hasil konjugasi ini bersifat lebih polar dan
lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresi.
Kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa macam reaksi sekaligus atau
secara berurutaan menjadi beberapa macam metabolit, tetapi ada obat yang hanya
mengalami reaksi fase I atau Fase II saja.
Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan
letaknya didalam sel, yaitu : (1) enzim mikrosom ( dalam reticulum endoplasma )
yang mengkatalisis reaksi konjugasi glukuronat, sebagian besar reaksi oksidasi
obat, reaksi reduksi dan hidrolisis; (2) enzim nonmikrosom , yang mengkatalisis
reaksi konjugasi lainnya ( dengan asetat, sulfat, asam fosfat, gugus metal,
glutation atau asam amino ), dan beberapa reaksi oksidasi, reduksi dan
hidrolisis.
Sebagian besar biotransformasi obat, asam-asam lemak, hormon-hormon steroid
dikatalisis oleh enzim mikrosom hati. Untuk itu obat harus larut dalam lemak
agar dapat melintasi membrane sel masuk kedalam reticulum endoplasma dan
berikatan dengan enzim mikrosom hati.
Aktivitas enzim mikrosom maupun nonmikroson ditentukan oleh faktor genetik,
sehingga kecepatan metabolisme obat antar individu bervariasi.
Metabolisme obat di hati terganggu bila terjadi kerusakaan parenkhim hati
misalnya oleh adanya zat hepatotoksik atau sirosis hepatis. Dalam hal ini,
dosis obat yang eliminasinya terutama melalui metabolisme di hati harus
disesuaikan atau dosisnya dikurangi. Misalnya :Gangguan kardiovaskuler dan
latihan fisik berat akan mengurangi metabolisme obat tertentu di hati.
Pada bayi, terutama bayi prematur, aktivitas enzim metabolismenya ( mikrosom
maupun nonmikrosom ) masih rendah, fungsi ekskresi dan sawar darah-otak masih
belum sempurna, maka sangat peka terhadap efek toksik obat.
EKSKRESI
Obat dkeluarkan dari tubuh melalui barbagai organ ekskresi dalam bentuk
metabolit hasil biotransformasi atau dalam bentuk asalnya.
Obat atau metabolit polar diekskresi lebih cepat dari pada obat larut lemak,
kecuali pada ekskresi lewat paru ( tergantung koefisien partisi darah / udara ,
bila koefisien partisinya kecil, lebih cepat diekskresi)
Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting , ekskresi di ginjal merupakan
proses filtrasi glomerulus. Glomerulus merupakan jaringan kapiler yang dapat
melewatkan semua zat yang lebih kecil dari albumin melalui celah antarsel
endotelnya. Semua obat yang tidak terikat oleh protein plasma mengalami fitrasi
di glomerulus.
. Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga
dosis perlu diturunkan atau interval pemberian diperpanjang
Ekskresi melalui empedu : Obat dengan BM lebih kecil dari 150 dan obat yang
telah dimetabolisme menjadi obat yang lebih polar, dapat diekskresikan dari
hati lewat empedu menuju ke usus dengan mekanisme transport aktif ( dalam
bentuk terkonjugasi dengan asam glukuronat, asam sufat atau glisin ). Di usus,
obat bentuk konjugat dapat langsung diekskresi atau mengalami hidrolisis oleh
enzim atau bakteri usus menjadi senyawa yang bersifat nopolar sehingga dapat
diabsorpsi kembali ke plasma darah, kembali ke hati , dimetabolisisr,
dikeluarkan kembali melalui empedu menuju ke usus, demikian seterusnya sehingga
merupakan siklus yang disebut siklus enterohepatik. Siklus enterohepatik
menyebabkan kerja obat menjadi lebih panjang.
Ekskresi obat juga bisa melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan
rambut tetapi dalam jumlah relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Maka dari itu, air liur digunakan sebagai pengganti
darah untuk menentukan kadar obat tertentu; rambut juga dapat digunakan untuk
menentukan logam toksik, atau arsen
FARMAKODINAMIK
Cabang ilmu yang mempelajari efek biokimia dan fisiologi obat serta mekanisme
kerjanya disebut farmakodinamik. ( pengaruh obat terhadap organ-organ tubuh )
Mekanisme kerja obat yaitu :
(1) Obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal ( fisiologi ) tubuh
(2) Obat tidak menimbulkan suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi
yang sudah ada ( ini tidak berlaku bagi terapi gen )
Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat ialah untuk :
1. meneliti efek utama obat
2. mengetahui interaksi obat dengan sel
3. mengetahui respon khas yang terjadi
Interaksi Obat Dengan Biopolimer
Semua molekul obat yang masuk dalam tubuh, kemungkinan besar berikatan dengan
konstituen jaringan atau biopolimer seperti protein, lemak, asan nukleat,
mukopolisakari -da, enzim biotransformasi dan reseptor. Pengikatan obat oleh
biopolimer dipengaruhi oleh bentuk konformasi molekul obat dan pengaturan ruang
dari gugus-gugus fungsional senyawa obat. Interaksi obat dapat berupa:(1)
Interaksi tidak khas dan ;(2) Interaksi khas.
1. Interaksi tidak khas adalah interaksi yang hasilnya tidak menghasilkan efek
yang berlangsung lama dan tidak menyebabkan perubahan struktur molekul obat
maupun biopolimer. Interaksi ini bersifat reversibel ( terpulihkan ) dan tidak
menghasilkan respons biologis. Contohnya : Interaksi obat yang hanya merubah
lingkungan fisika-kimia dari struktur badan ( protein jaringan, asam nukleat,
mukopolisakarida, air dan lemak ), misalnya : anestetik umum merubah struktur
air didalam otak; diuretik osmotik merubah tekanan osmotik dalam ginjal.
2. Interaksi khas :adalah interaksi yang menyebabkan perubahan struktur
makromolekul reseptor sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis
normal yang dapat diamati sebagai respons biologis. Interaksi dengan reseptor
dan interaksi dengan enzim biotransformasi, merupakan interaksi khas.
KERJA OBAT
Kerja obat dapat digolongkan menjadi dua yaitu : (A) Kerja obat yang
diperantarai reseptor dan : (B) Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor.
A. KERJA OBAT YANG DIPERANTARAI OLEH RESEPTOR
Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu
organisme. Interaksi obat dengan reseptornya, mencetuskan perubahan biokimia
dan fisiologi yang merupakan respons biologis yang khas untuk obat tersebut.
Interaksi antara obat dengan enzim biotransformasi juga merupakan interaksi
yang khas karena mengakibatkan perubahan struktur makromolekul reseptor
sehingga timbul rangsangan perubahan fungsi fisiologis yang dapat diamati
sebagai respons biologis
Reseptor obat merupakan komponen makromolekul fungsional, yaitu tempat
terikatnya obat untuk menimbulkan respons. Sekelompok reseptor obat tertentu
juga berperan sebagai reseptor untuk ligand endogen ( hormon dan
neurotransmitor. Komponen yang paling penting dalam reseptor obat adalah
protein ( misalnya : asetilkolinesterase, Na+ -, K+ -ATP ase dsb ). Asam
nukleat juga dapat merupakan reseptor obat , contohnya untuk obat sitostatika (
pembunuh sel kanker ).
Ikatan antara obat dengan reseptor, berupa ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan
hidrofobik, ikatan van der Walls atau ikatan kovalen ( jarang ). Umumnya
merupakan campuran berbagai ikatan tersebut diatas. Ikatan antara obat daengan
reseptor, misalnya ikatan antara substrat dengan enzim, biasanya merupakan
ikatan lemah ( ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, ikatan van der
Walls ) dan jarang berupa ikatan kovalen. Hubungannya dengan efek obat dapat
digambarkan sebagai berikut :
Hubungan Struktur dan Aktifitas Biologik :
Struktur kimia suatu obat berhubungan erat dengan aktifitasnya terhadap
reseptor dan aktifitas intrinsiknya, sehingga perubahan kecil dalam molekul
obat (misal : perubahan stereoisomer ) dapat menimbulkan perubahan besar dalam
sifat farmakologinya. Pengetahuan mengenai hubungan struktur dan aktifitas
bermanfaat dalam strategi pengembangan obat baru.
B. KERJA OBAT YANG TIDAK DIPERANTARAI RESEPTOR
Beberapa obat tertentu dapat menimbulkan efek tanpa berikatan dengan reseptor.
Mekanismenya ada berbagai cara yaitu :
1. Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh
2. Berinteraksi dengan ion atau molekul kecil
3. Masuk kedalam komponen sel
1. Mekanisme Kerja Obat : Mengubah atau mempengaruhi sifat cairan tubuh :
a. Pengubahan sifat osmotik, contoh : (1) obat-obat diuretik osmotik ( manitol
) yang meningkatkan osmolaritas filtrat glomerulus sehingga terjadi efek
diuretk; (2) obat-obat katartik osmotik atau pencahar ( Mg SO4 ); (3) gliserol
untuk mengurangi udema serebral
b. Pengubahan sifat asam-basa , contoh (1) obat-obat antasida untuk menetralkan
asam lambung; (2) NH4CL untuk mengasamkan urin; (3) Natrium bikarbonat untuk
membasakan urin; Asam-asam organik sebagai antiseptik saluran kemih atau
sebagai spermisida topical dalam saluran vagina.
c. Perusakan nonspesifik membran sel ( sebagai antiseptik dan desinfektan ),
contoh : (1) detergen, merusak integritas membran lipoprotein; (2) halogen,
peroksida dan oksidator lain ( merusak zat organik ); (3) denaturan, merusak
integritas dan kapasitas fungsional membran sel, partikel subseluler dan
protein.
d. Gangguan fungsi membran, contoh : anestesi umum dengan eter, halotan atau
metoksifluran, bekerja dengan melarut dalam lemak membran sel di SSP sehingga
eksitabilitas menurun
2. Mekanisme Kerja : Interaksi dengan molekul kecil atau ion
Dengan Molekul pengkhelat ( chelating agent ), contoh : (1) CaNa2 EDTA. yang
mengikat logam Pb menjadi khelat yang inaktif, misal pemberian larutan CaNa2
-EDTA pada keracunan Pb; (2) Penisilamin, mengikat Cu 2+ bebas ; (3) Dimerkasol
untuk keracunan logam-logam berat. Khelat yang terbentuk larut dalam air
sehingga mudah dikeluarkan lewat ginjal .
3. Mekanisme Kerja : Masuk ke dalam komponen sel
Obat-obat analog purin atau pirimidin, dapat bergabung dengan asam nukleat,
sehingga mengganggu fungsinya ( obat-obat antimetabolit ), cotohnya :
6-merkaptopurin, 5-fluorourasil, flusitosin yang merupakan obat-obat anti
kanker.
TERMINOLOGI MENGENAI EFEK OBAT
* Spesifisitas dan Selektifitas :
Obat yang ideal adalah yang bersifat spesifik dan selektif.
Obat yang spesifik . bila bekerjanya hanya pada satu jenis reseptor
Obat yang selektif , bila menghasilkan satu efek pada dosis rendah dan pada
dosis lebih tinggi baru timbul efek yang lain.
Contoh : Klorpromasin, bukan obat yang spesifik karena bekerja pada berbagai
jebis reseptor.
Atropin adalah bloker spesifik untuk reseptor muskarinik, tetapi tidak selektif
karena reseptor muskarinik terdapat di berbagai organ
Salbutamol adalah agonis ß-adrenergik yang spesifik dan relatif selektif karena
memblok reseptor ß2 dan pada dosis terai hanya berefek dibronkhus.
Selain tergantung pada dosis, selektifitas juga tergantung cara pemberian obat,
contoh: Salbutamol ( pada dosis terapi hanya berefek di bronkhus, memblok
reseptor ß-2 ), bila diberikan sebagai obat semprot langsung ke saluran napas,
maka selektifitasnya akan meningkat.
Sesungguhnya tidak ada obat yang menghasilkan satu efek saja, dan makin banyak
efek obat, makin banyak efek sampingnya. Dengan demikian, selektifitas merupakan
sifat obat yang penting dalam terapi.
Selektifitas dapat dinyatakan sebagai hubungan antara dosis terapi ( ED )
dengan dosis obat yang menimbulkan efek toksik ( TD ).Hubungan ini disebut juga
indeks terapi atau batas keamanan obat ( margin of safety ).
Obat yang ideal, menimbulkan efek terapi pada semua penderita, tanpa
menimbulkan efek toksik pada satu orang penderita pun. Oleh karena itu indeks
terapinya dinyatakan sebagai berikut :
TD 1
Indeks terapi = ______ = ≥ 1
ED 99
Dapat dinyatakan bahwa untuk obat yang ideal, dosis toksiknya harus lebih besar
dari dosis terapinya dan dosis toksisnya paling banyak hanya boleh menimbulkan
kematian 1 % dari responden.
Pada umumnya, indeks terapi obat dinyatakan dalam rasio berikut:
TD 50 LD 50
Indeks Terapi = -------- = ---------
ED 50 ED 50
Indeks terapi hanya berlaku untuk satu efek, maka obat yang mempunyai beberapa
efek terapi juga mempunyai beberapa indeks terapi. Contoh : Aspirin mempunyai
efek analgetik dan antirheumatik. Indeks terapi atau batas keamanan obat
aspirin sebagai analgetik lebih besar dibandingkan dengan indeks terapi sebagai
antireumatik karena dosis terapi antireumatik lebih besar dari dosis analgetik.
Meskipun perbandingan dosis terapi dan dosis toksik sangat bermanfaat untuk
suatu obat, namun data demikian sulit diperoleh dari penelitian klinik.( sulit
mendapatkan responden yang bersedia untuk uji klinik ). Maka dari itu selektifitas
obat dinyatakan secara tidak langsung yaitu diperhitungkan dari data : (1) pola
dan insiden efek samping yang ditimbulkan obat dalam dosis terapi, dan (2)
persentase penderita yang menghentikan obat atau menurunkan dosis obat akibat
efek samping.
Harus diingat bahwa gambaran atau pernyataan bahwa obat cukup aman untuk
kebanyakan penderita, tetapi tidak menjamin keamanan untuk setiap penderita
karena selalu ada kemungkinan timbul respons yang menyimpang. Contohnya :
penisilin dapat dinyatakan aman untuk sebagian besar penderita tetapi dapat
menyebabkan kematian untuk penderita yang alergi terhadap obat tersebut.
-
Respons individu terhadap obat sangat bervariasi, yaitu dapat berupa : (1)
Hiperaktif ( dosis rendah sekali sudah dapat memberikan efek ); (2) Hiporeaktif
( untuk mendapatkan efek, memerlukan dosis yang tinggi sekali ); (3)
Hipersensitif ( orang alergi terhadap obat tertentu ); (4) Toleransi ( untuk
mendapatkan efek obat yang pernah di konsumsi sebelumnya, memerlukan dosis yang
lebih tinggi ); (5) Resistensi ( efek obat berkurang karena pembentukan genetik
); (6) Idiosikrasi ( efek obat yang aneh , yang merupaka reaksi alergi obat
atau akibat perbedaan genetik )
Aksi Obat Dapat Melalui Beberapa Cara :
1. Mengadakan stimulasi atau depresi fungsi spesifik dari sel
2. Mengadakan campur tangan aktifitas seluler dari sel asing terhadap sel tuan
rumah, misalnya pemberian antibiotik untuk membunuh sel bakteri; pemberian obat
untuk membunuh sel kanker.( obat-obat kemoterapi )
3. Merupakan terapi pengganti, misalnya pemberian suplemen Kalium, pemberian
hormon atau vitamin untuk mencapai dosis fisiologis sehingga diperoleh aksi.
Penggunaan Obat dapat menghasilkan lebih dari satu efek, yaitu :
1. Efek terapi ( utama ).
Terapi obat dapat bertujuan untuk : (a) terapi kausal ; (2) terapi simtomatik
dan (3) terapi substitusi
2. Efek samping : adalah efek yang tidak diinginkan, atau efek obat yang tidak
termasuk kegunaan terapi, misalnya : Efek terapi pemberian morfin adalah
sebagai analgesik, tapi mempunyai efek samping depresi pernapasan dan
konstipasi..
3. Efek teratogen :
Adalah efek obat yang pada dosis terapetik untuk ibu hamil, mengakibatkan cacat
pada janin, misalnya : tangan dan kaki seperti kepunyaan anjing laut atau
bentuk-bentuk lain yang tidak normal.
4. Efek toksik :
Adalah aksi tambahan dari obat yang lebih berat dari efek samping dan merupakan
efek yang tidak diinginkan. Efek ini disebabkan oleh dosis yang berlebih
5. Idiosinkrasi :
Efek obat yang secara kualitatif berlainan sekali dengan efek terapi normalnya.
6. Fotosensitisasi :
Adalah efek kepekaan yang berlebihan terhadap cahaya yang timbul akibat
penggunaan obat, misalnya penggunaan obat Bithionol sebagai antiseptika lokal.
EFEK OBAT PENGULANGAN ATAU PENGGUNAAN OBAT YANG LAMA
1. Hipersensitif :
Adalah suatu reaksi alergik yang merupakan respons abnormal terhadap obat
dimana pasien sebelumnya telah kontak dengan obat tersebut hingga berkembang
timbul antibodi.
2. Kumulasi :
Suatu fenomena pengumpulan obat dalam badan akibat pengulangan penggunaan obat,
dimana obat diekskresi lebih lambat dibanding kecepatan absorpsinya.
3. Toleransi :
Suatu fenomena berkurangnya respon terhadap dosis obat yang sama, sehingga
untuk memperoleh respon yang sama , dosis harus diperbesar
4. Takhifilaksis :
Adalah fenomena berkurangnya kecepatan respons terhadap aksi obat pada
pengulangan penggunaan dosis yang sama (kurang sensitif). Respon semula tidak
terulang meskipun dengan dosis yang lebih besar.
5. Habituasi :
Suatu gejala ketergantungan psikhologik terhadap suatu obat. Kriterianya : (a)
selalu ingin menggunakan obat; (b) tanpa atau hanya sedikit kecenderungan untuk
menaikkan dosis; (c). memberikan efek yang merugikan pada suatu individu.
5. Adiksi :
Adalah suatu gejala ketergantungan psikhologik dan fisik terhadap obat.
Kriteria : (a) ada dorongan untuk selalu menggunakan obat; (b). ada
kecenderungan untuk menaikkan dosis; (c). timbul ketergantungan psikhik dan
biasanya diikuti ketergantungan fisik.; (d) merugikan terhadap individu maupun
masyarakat.
6. Resistensi terhadap bakteri :
Pada penggunaan antibiotik untuk infeksi oleh bakteri, dapat terjadi obat tidak
mampu bekerja lagi untuk membunuh atau menghambat perkembangan bakteri
tertentu.
EFEK PENGGUNAAN OBAT CAMPURAN
Penggunaan obat campuran dapat nenyebabkan efek : (1) Adisi; (2) Sinergis; (3)
Potensiasi; (4) Antagonis dan (5) Interaksi.
1. Adisi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama memberikan efek yang merupakan
penjumlahan dari efek masing-masing obat bila diberikan secara terpisah
2. Sinergis :
Beberapa obat mempunyai aksi yang hampir sama, bila diberikan bersama-sama
,memberikan efek yang lebih besar dari efek masing-masing obat yang diberikan
secara terpisah
3. Potensiasi :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama dengan aksi-aksi yang tidak sama,
memberikan efek yang lebih besar pada pasien, dari pada efek masing-masing
secara terpisah.
4. Antagonis :
Beberapa obat yang diberikan bersama-sama, salah satu obat mengurangi efek dari
obat yang lain
5. Interaksi obat :
Interaksi obat berlangsung dengan beberapa cara, yaitu : (a) Interaksi kimia ;
(b) Kompetisi untuk mengikat protein ( mendesak obat lain pada protein ); (c)
Induksi enzim ( menstimulasi pembentukan enzim di hati sehingga obat cepat
dibiotransformasi dan dieliminasi ); (d) Inhibisi enzim ( mengganggu fungsi
hepar dan enzim-enzimnya, sehingga memperkuat kerja obat lain ).
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI AKSI OBAT : yaitu
1. Berat badan
2. Umur
3. Jenis kelamin
4. Kondisi patologik pasien
5. Genetik ( Idiosinkrasi )
6. Cara pemberian obat :
(a) yang memberikan efek sistemik : - oral; sublingual; bukal;-parenteral;-
implantasi subkutan; rektal;
(b) yang memberikan efek lokal :- inhalasi; -topikal ( pada kulit ) : salep,
krim , lotion ; - obat-obat pada mukosa : tetes mata, tetes telinga,
1 Votes
Toksikologi
merupakan studi mengenai efek yang merugikan dari agen fisik dan kimia
pada organisme makhluk hidup. Ilmu ini adalah multidisiplin yang mencakup
banyak bidang keahlian ilmiah, termasuk biologi, biokimia, kimia, patologi, dan
fisiologi. Toksikologi memberikan kontribusi untuk kedokteran klinis, hukum
kedokteran, kedokteran kerja dan kebersihan, kedokteran hewan, patologi
eksperimental, pengembangan kimia baru dan evaluasi keselamatan.
Agen
kimia dapat berupa alami atau sintetik. Bahan kimia sintetik dikategorikan ke
dalam beberapa kelas-biasanya terkait dengan kegiatan atau termasuk paparan zat
farmasi, bahan tambahan makanan, pestisida, bahan kimia industri, dan bahan
kimia dalam negeri. Bahan kimia alami meliputi berbagai zat yang biasanya
ditemukan di lingkungan, seperti arsenik, timbal dan biologi berasal dari
tumbuhan, hewan atau racun mikrobiologi . Contoh racun tanaman alkaloid
pyrrolizidine dihasilkan dari berbagai spesies seperti komprei, glikosida
jantung pada oleander dan morfin dalam tanaman opium. Contoh racun hewan adalah
racun-racun yang dihasilkan oleh berbagai spesies hewan darat dan laut, seperti
platypuses, ular, laba-laba, lebah dan ikan batu. Botulinum toksin dan enterotoksin
stafilokokal adalah contoh dari racun mikroba, sedangkan aflatoksin adalah
contoh dari racun jamur.
Agen
fisik termasuk radiasi, panas, debu, getaran dan suara.
Perbedaan
antara toksisitas dan risiko
Toksisitas (atau bahaya) adalah kemampuan yang melekat dari agen untuk
menyebabkan kerusakan. Properti ini hanya akan berubah jika agen diubah dalam
beberapa cara. Ini tidak akan berubah dengan perubahan kondisi penggunaan atau
eksposur. Risiko merupakan suatu probabilitas yang terjadi pada paparan agen
dalam kondisi tertentu akan dapat menyebabkan cedera atau bahaya. Risiko akan
selalu bergantung pada toksisitas agen dan sifat dan tingkat eksposur. Sesuatu
dari toksisitas rendah dapat berisiko tinggi jika dosis besar, dan sesuatu
toksisitas yang tinggi dapat berisiko rendah jika dosisnya cukup kecil.
Pra-kondisi untuk efek toksik
Untuk mengerahkan efek toksik, agen harus dapat mencapai jaringan rentan,
organ, sel, atau kompartemen selular sub atau struktur dalam konsentrasi yang
cukup pada waktu yang memadai pula. Artinya, suatu paparan atau dosis yang
tepat diperlukan. Dosis kecil alkohol tidak akan ada pengaruhnya, tetapi dosis
besar selama waktu yang lama dapat mempengaruhi organ rentan seperti hati dan
akhirnya menyebabkan sirosis. Dosis optimal dari parasetamol akan menghilangkan
rasa sakit, tetapi dosis yang melebihi jumlah ini dapat menyebabkan kerusakan
hati. Di sisi lain, jumlah yang jauh lebih rendah daripada dosis yang optimal
tidak akan memberikan berpengaruh sama sekali.
Exposure bisa dikatakan akut, kronis,
sub akut dan sub kronis atau. Tingkatan akut mengacu pada eksposur tunggal,
seperti overdosis obat kronis yang sementara berlaku paparan untuk
eksposur yang berulang-ulang selama jangka waktu lama (lebih dari tiga
bulan). Sub akut berlaku untuk paparan berulang (sampai satu bulan), dan kronis
sub selama periode antara (yaitu, satu sampai tiga bulan).
EFEK SAMPING OBAT
Interaksi ini dapat terjadi antar obat atau antara obat dengan
makanan/minuman. Bahkan tanaman yang digunakan dalam pengobatan alternatif yang
disangka aman oleh sebagian besar masyarakat juga dapat berinteraksi dengan
obat lainnya. Contohnya adalah tanaman St. John's wort (Hypericum perforatum),
yang digunakan untuk pengobatan depresi sedang. Tanaman ini menyebabkan peningkatan
enzim sitokrom P450 yang berperan dalam metabolisme dan eliminasi banyak
obat-obatan di tubuh, sehingga pasien yang mengkonsumsi St John's wort akan
mengalami pengurangan kadar obat lain dalam darah yang digunakan bersamaan.
Berikut
ini adalah contoh dari efek samping obat yang biasanya terjadi:
1. Aborsi
atau keguguran, akibat Misoprostol, obat yang digunakan untuk pencegahan (gastric
ulcer) borok lambung yang disebabkan oleh obat anti inflamasi non steroid.
2.
Ketagihan, akibat obat-obatan penenang dan analgesik seperti diazepam serta
morfin.
3.
Kerusakan janin, akibat Thalidomide dan Accutane.
4.
Pendarahan usus, akibat Aspirin.
5.
Penyakit kardiovaskular, akibat obat penghambat COX-2.
6. Tuli
dan gagal ginjal, akibat antibiotik Gentamisin.
7. Kematian,
akibat Propofol.
8.
Depresi dan luka pada hati, akibat Interferon.
9.
Diabetes, yang disebabkan oleh obat-obatan psikiatrik neuroleptik.
10.
Diare, akibat penggunaan Orlistat.
11.
Disfungsi ereksi, akibat antidepresan.
12.
Demam, akibat vaksinasi.
13.
Glaukoma, akibat tetes mata kortikosteroid.
14.
Rambut rontok dan anemia, karena kemoterapi melawan kanker atau leukemia.
15.
Hipertensi, akibat penggunaan Efedrin. Hal ini membuat FDA mencabut status
ekstrak tanaman efedra (sumber efedrin) sebagai suplemen makanan.
16.
Kerusakan hati akibat Parasetamol.
17.
Mengantuk dan meningkatnya nafsu makan akibat penggunaan antihistamin.
18. Bunuh
diri akibat penggunaan Fluoxetine, suatu antidepresan.
Cara
Pemberian Obat
.
Pemberian obat yang aman dan akurat adalah tanggung jawab penting bagi seorang
perawat. Meskipun obat menguntungkan, namun bukan berarti tanpa reaksi yang
merugikan. Sebagai seorang perawat harus mengetahui prinsip-prinsip dalam
pemberian obat secara aman yang dikenal dengan prinsip enam benar.
Dalam mengkonsumsi obat, ditemukan banyak cara yang dapat
dilakukan tergantung delegasi dokter. Berikut ini adalah beberapa cara
pemberian obat :
- Oral
- Sublingual
- Inhalasi
- Rektal
- Pervaginam
- Perenteral
- Topikal/lokal
Oral
Adalah obat yang
cara pemberiannya melalui mulut. Untuk cara
pemberian obat ini relatif
aman, praktis dan ekonomis. Kelemahan dari pemberian obat secara oral adalah
efek yang timbul biasanya lambat, tidak efektif jika pengguna sering
muntah-muntah, diare, tidak sabar, tidak kooperatif, kurang disukai jika rasanya
pahit.
Sublingual
Adalah obat yang
cara pemberiannya ditaruh di bawah lidah. Tujuannya adalah agar efek yang
ditimbulkan bisa lebih cepat karena pembuluh darah di bawah lidah merupakan
pusat dari sakit. Kelebihan dari cara pemberian obat dengan sublingual adalah
efek obat akan terasa lebih cepat dan kerusakan obat pada saluran cerna dan
metabolisme di dinding usus dan hati dapat dihindari.
Inhalasi
Adalah obat yang
cara pemberiannya melalui saluran pernafasan. Kelebihan dari pemberian
obat dengan cara inhalasi
adalah absorpsi terjadi cepat dan homogen, kadar obat dapat terkontrol,
terhindar dari efek lintas pertama dan dapat diberikan langsung kepada bronkus.
Untuk obat yang diberikan dengan cara inhalasi dalam bentuk gas atau uap yang
akan diabsorpsi dengan cepat melalui alveoli paru-paru serta membran mukosa
pada saluran pernapasan.
Rektal
Adalah obat yang
cara pemberiannya melalui dubur atau anus. Maksudnya adalah mempercepat
kerja obat serta bersifat lokal dan sistematik.
Pervaginam
Untuk obat ini
bentuknya hampir sama atau menyerupai obat yang diberikan secara rektal, hanya
saja dimasukan ke dalam vagina.
Parenteral
Adalah obat yang
cara pemberiaannya tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran pencernaan)
tetapi langsung ke pembuluh darah. Misalnya sediaan injeksi atau suntikan.
Tujuannya adalah agar dapat langsung menuju sasaran. Kelebihannya bisa untuk
pasien yang tidak sadar, sering muntah dan tidak kooperatif. Akan tetapi cara
pemberian obat dengan cara ini kurang aman karena jika sudah disuntikan ke
dalam tubuh tidak bisa dikeluarkan lagi jika terjadi kesalahan.
a.Intravena (IV)
Tidak ada fase
absorpsi dalam pemberian
obat secara intravena
karena obat langsung masuk ke dalam vena, “onset of action” cepat, efisien,
bioavailabilitas 100 %, baik untuk obat yang menyebabkan iritasi kalau
diberikan dengan cara lain, biasanya berupa infus kontinu untuk obat yang
waktu-paruhnya pendek (Joenoes, 2002).
b.Intramuskular (IM)
“Onset of action” pemberian obat secara intramusculer bervariasi, berupa larutan dalam air yang
lebih cepat diabsorpsi daripada obat berupa larutan dalam minyak, dan juga obat
dalam sediaan suspensi, kemudian memiliki kecepatan penyerapan obat yang sangat
tergantung pada besar kecilnya partikel yang tersuspensi: semakin kecil
partikel, semakin cepat proses absorpsi (Joenoes, 2002).
c.Subkutan (SC)
“Onset of action”
lebih cepat daripada sediaan suspensi, determinan dari kecepatan absorpsi ialah
total luas permukaan dimana terjadi penyerapan, menyebabkan konstriksi pembuluh
darah lokal sehingga difusi obat tertahan/diperlama, obat dapat dipercepat
dengan menambahkan hyaluronidase, suatu enzim yang memecah mukopolisakarida
dari matriks jaringan (Joenoes, 2002).
Prinsip terapi
download video
terapi IM klik disini
Dalam memberikan pengobatan kita sebagai perawat harus mengingat dan memahami
prinsip enam benar (dulu lima benar) agar kita dapat terhindar dari kesalahan
dalam memberikan obat, prinsip enam benar tersebut akan kita bahas dalam
postingan kali ini, namun ada baiknya juga kita mengetahui peran masing-masing
profesi yang terkait dengan upaya pengobatan tersebut.
Peran Dokter dalam Pengobatan
Dokter bertanggung jawab terhadap diagnosis dan terapi. Obat harus dipesan
dengan menulis resep. Bila ragu tentang isi resep atau tidak terbaca, baik oleh
perawat maupun apoteker, penulis resep itu harus dihubungi untuk penjelasan.
Peran Apoteker dalam Pengobatan
Apoteker secara resmi bertanggung jawab atas pasokan dan distribusi obat.selain
itu apoteker bertanggung jawab atas pembuatan sejumlah besar produk farmasi
seperti larutan antiseptik, dan lain-lain.
Peran penting lainnya adalah sebagai narasumber informasi obat. Apoteker
bekerja sebagai konsultan spesialis untuk profesi kedokteran, dan dapat memberi
nasehat kepada staf keperawatan dan profesi kesehatan lain mengenai semua aspek
penggunaan obat, dan memberi konsultasi kepada pasien tentang obatnya bila
diminta.
Peran Perawat
Karena obat dapat menyembuhkan atau merugikan pasien, maka pemberian obat
menjadi salah satu tugas perawat yang paling penting. Perawat adalah mata
rantai terakhir dalam proses pemberian obat kepada pasien. Perawat yang
bertanggung jawab bahwa obat itu diberikan dan memastikan bahwa obat itu benar
diminum.
Bila ada obat yang diberikan kepada pasien, hal itu harus menjadi bagian
integral dari rencana keperawatan. Perawat yang paling tahu tentang kebutuhan
dan respon pasien terhadap pengobatan. Misalnya, pasien yang sukar menelan,
muntah atau tidak dapat minum obat tertentu (dalam bentuk kapsul). Faktor
gangguan visual, pendengaran, intelektual atau motorik, yang mungkin
menyebabkan pasien sukar makan obat, harus dipertimbangkan.
Rencana perawatan harus mencangkup rencana pemberian obat, bergantung pada
hasil pengkajian, pengetahuan tentang kerja dan interaksi obat, efek samping,
lama kerja, dan program dokter.
Prinsip Enam Benar
1.Benar Pasien
Sebelum obat diberikan, identitas pasien harus diperiksa (papan identitas di
tempat tidur, gelang identitas) atau ditanyakan langsung kepada pasien atau
keluarganya. Jika pasien tidak sanggup berespon secara verbal, respon non
verbal dapat dipakai, misalnya pasien mengangguk. Jika pasien tidak sanggup
mengidentifikasi diri akibat gangguan mental atau kesadaran, harus dicari cara
identifikasi yang lain seperti menanyakan langsung kepada keluarganya. Bayi
harus selalu diidentifikasi dari gelang identitasnya.
2.Benar Obat
Obat memiliki nama dagang dan nama generik. Setiap obat dengan nama dagang yang
kita asing (baru kita dengar namanya) harus diperiksa nama generiknya, bila
perlu hubungi apoteker untuk menanyakan nama generiknya atau kandungan obat.
Sebelum memberi obat kepada pasien, label pada botol atau kemasannya harus
diperiksa tiga kali. Pertama saat membaca permintaan obat dan botolnya diambil
dari rak obat, kedua label botol dibandingkan dengan obat yang diminta, ketiga
saat dikembalikan ke rak obat. Jika labelnya tidak terbaca, isinya tidak boleh
dipakai dan harus dikembalikan ke bagian farmasi.
Jika pasien meragukan obatnya, perawat harus memeriksanya lagi. Saat memberi
obat perawat harus ingat untuk apa obat itu diberikan. Ini membantu mengingat
nama obat dan kerjanya.
3.Benar Dosis
Sebelum memberi obat, perawat harus memeriksa dosisnya. Jika ragu, perawat
harus berkonsultasi dengan dokter yang menulis resep atau apoteker sebelum
dilanjutkan ke pasien. Jika pasien meragukan dosisnya perawat harus
memeriksanya lagi. Ada beberapa obat baik ampul maupun tablet memiliki dosis
yang berbeda tiap ampul atau tabletnya. Misalnya ondansentron 1 amp, dosisnya
berapa ? Ini penting !! karena 1 amp ondansentron dosisnya ada 4 mg, ada juga 8
mg. ada antibiotik 1 vial dosisnya 1 gr, ada juga 1 vial 500 mg. jadi Anda
harus tetap hati-hati dan teliti !
4.Benar Cara/Rute
Obat dapat diberikan melalui sejumlah rute yang berbeda. Faktor yang menentukan
pemberian rute terbaik ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan respon
yang diinginkan, sifat kimiawi dan fisik obat, serta tempat kerja yang
diinginkan. Obat dapat diberikan peroral, sublingual, parenteral, topikal,
rektal, inhalasi.
Oral, adalah rute pemberian yang paling umum dan paling banyak dipakai, karena
ekonomis, paling nyaman dan aman. Obat dapat juga diabsorpsi melalui rongga
mulut (sublingual atau bukal) seperti tablet ISDN.
Parenteral, kata ini berasal dari bahasa Yunani, para berarti disamping,
enteron berarti usus, jadi parenteral berarti diluar usus, atau tidak melalui
saluran cerna, yaitu melalui vena (perset / perinfus).
Topikal, yaitu pemberian obat melalui kulit atau membran mukosa. Misalnya
salep, losion, krim, spray, tetes mata.
Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal berupa enema atau supositoria
yang akan mencair pada suhu badan. Pemberian rektal dilakukan untuk memperoleh
efek lokal seperti konstipasi (dulkolax supp), hemoroid (anusol), pasien yang
tidak sadar / kejang (stesolid supp). Pemberian obat perektal memiliki efek
yang lebih cepat dibandingkan pemberian obat dalam bentuk oral, namun sayangnya
tidak semua obat disediakan dalam bentuk supositoria.
Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk
pemberian obat secara lokal pada salurannya, misalnya salbotamol (ventolin),
combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi
oksigen.
5.Benar Waktu
Ini sangat penting, khususnya bagi obat yang efektivitasnya tergantung untuk
mencapai atau mempertahankan kadar darah yang memadai. Jika obat harus diminum
sebelum makan, untuk memperoleh kadar yang diperlukan, harus diberi satu jam
sebelum makan. Ingat dalam pemberian antibiotik yang tidak boleh diberikan
bersama susu karena susu dapat mengikat sebagian besar obat itu sebelum dapat
diserap. Ada obat yang harus diminum setelah makan, untuk menghindari iritasi
yang berlebihan pada lambung misalnya asam mefenamat.
6.Benar Dokumentasi
Setelah obat itu diberikan, harus didokumentasikan, dosis, rute, waktu dan oleh
siapa obat itu diberikan. Bila pasien menolak meminum obatnya, atau obat itu
tidak dapat diminum, harus dicatat alasannya dan dilaporkan.
Cara Penyimpanan Obat
Dalam menyimpan obat harus diperhatikan tiga faktor utama, yaitu :
Suhu, adalah faktor terpenting, karena pada umumnya obat itu bersifat
termolabil (rusak atau berubah karena panas), untuk itu perhatikan cara
penyimpanan masing-masing obat yang berbeda-beda. Misalnya insulin, supositoria
disimpan di tempat sejuk < 15°C (tapi tidak boleh beku), vaksin tifoid
antara 2 - 10°C, vaksin cacar air harus < 5°C.
Posisi, pada tempat yang terang, letak setinggi mata, bukan tempat umum dan
terkunci.
Kedaluwarsa, dapat dihindari dengan cara rotasi stok, dimana obat baru
diletakkan dibelakang, yang lama diambil duluan. Perhatikan perubahan warna
(dari bening menjadi keruh) pada tablet menjadi basah / bentuknya rusak.
Kesalahan Pemberian Obat
Kesalahan pemberian obat, selain memberi obat yang salah, mencakup faktor lain
yang mengubah terapi obat yang direncanakan, misalnya lupa memberi obat,
memberi obat dua sekaligus sebagai kompensasi, memberi obat yang benar pada
waktu yang salah, atau memberi obat yang benar pada rute yang salah.
Jika terjadi kesalahan pemberian obat, perawat yang bersangkutan harus segera
menghubungi dokternya atau kepala perawat atau perawat yang senior segera
setelah kesalahan itu diketahuinya.
Pedoman KIE Perawat kepada Pasien atau Keluarga
Kepatuhan terjadi bila aturan pakai obat yang diresepkan serta pemberiannya di
rumah sakit diikuti dengan benar. Jika terapi ini akan dilanjutkan setelah
pasien pulang, penting agar pasien mengerti dan dapat meneruskan terapi itu
dengan benar tanpa pengawasan. Ini terutama penting untuk penyakit-penyakit
menahun, seperti asma, artritis rematoid, hipertensi, TB, diabetes melitus, dan
lain-lain.
Mengapa Pasien Tidak Patuh dalam Meminum Obatnya ?
Kurang pahamnya pasien terhadap tujuan pengobatan itu.
Tidak mengertinya pasien tentang pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang
ditetapkan sehubungan dengan prognosisnya.
Sukarnya memperoleh obat tersebut di luar rumah sakit.
Mahalnya harga obat.
Kurangnya kepedulian dan perhatian keluarga yang mungkin bertanggungjawab atas
pemberian obat itu kepada pasien.
Terapi obat yang efektif dan aman hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui
seluk beluk pengobatan serta kegunaanya. Untuk itu sebelum pasien pulang ke
rumah, perawat perlu memberikan KIE kepada pasien maupun keluarga tentang :
Nama obatnya.
Kegunaan obat itu.
Jumlah obat untuk dosis tunggal.
Jumlah total kali minum obat.
Waktu obat itu harus diminum (sebelum atau sesudah makan, antibiotik tidak diminum
bersama susu)
Untuk berapa hari obat itu harus diminum.
Apakah harus sampai habis atau berhenti setelah keluhan menghilang.
Rute pemberian obat.
Kenali jika ada efek samping atau alergi obat dan cara mengatasinya
Jangan mengoperasikan mesin yang rumit atau mengendarai kendaraan bermotor pada
terapi obat tertentu misalnya sedatif, antihistamin.
Cara penyimpanan obat, perlu lemari es atau tidak
Setelah obat habis apakah perlu kontrol ulang atau tidak
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam kolaborasi pemberian obat:
Memberikan obat adalah salah satu tanggungjawab sebagai perawat. Kesalahan
dalam penghitungan dan pemberian obat seringkali terjadi terutama pada perawat
yang kurang berpengalaman, tetapi kita dapat menghindari masalah yang serius
dengan mengikuti aturan dasar dalam pemberian obat. Berikut ini ada beberapa
hal yang mesti kita lakukan yaitu :
Mengetahui kebijakan dan prosedur rumah sakit untuk pemberian obat.
Periksa instruksi dokter.
Mengetahui prinsip enam benar.
Baca masing masing label tiga kali.
Tanyakan kepada pasien / keluarganya (jika pasien tidak sadar) jika ada riwayat
alergi terhadap obat-obat tertentu.
Jangan biarkan adanya gangguan saat menyiapkan obat karena konsentrasi anda
mungkin akan terganggu.
Jangan berpendapat bahwa bagian farmasi selalu benar, lakukan pemeriksaan ulang
terhadap obat yang diterima dari farmasi.
Jangan pernah memberikan obat yang tidak memiliki label / etiket.
Bila masih ragu, jangan mencampur obat.
jangan menuangkan kembali cairan ke dalam botol.
Selalu memeriksa identitas pasien sebelum memberikan obat.
Periksa ulang perhitungan obat.
Kenali antidot, terutama bila memberikan obat-obat inttravena.
Kenali kerja, efek samping dan reaksi balik dari obat sebelum memberikan obat.
Selalu mengetahui waktu pemberian yang diharuskan bila memberikan obat-obat
intravena.
Bila memastikan instruksi dokter, sebaiknya bicarakan hanya dengan dokter yang
menuliskan obat tersebut.
Mencegah Kesalahan Pemberian Obat
Waspadalah terhadap nama obat yang hampir sama.
Waspadalah selalu terhadap penggunaanbanyak tablet.
Waspadalah terhadap perubahan yang tiba-tiba dalam instruksi obat-obatan.
Selalu mencocokkan instruksi yang tidak jelas dengan dokter.
Selalu memastikan instruksi pemberian obat secara khusus.
Lihat kembali nama generik obat bila tidak yakin sungguh-sungguh.
Jangan menginterpretasikan tulisan tangan yang tidak jelas, yakinkan dengan
dokter yang bersangkutan.
Berikan perhatian khusus terhadap pemberian obat-obatan yang banyak.
Periksa kembali bila pasien mengatakan “saya sudah minum pil saya”
Obat
dan Pengobatan
Obat
adalah
substansi yang berhubungan fungsi fisiologis tubuh dan berpotensi mempengaruhi
status kesehatan. Pengobatan / medikasi adalah obat yang diberikan untuk
tujuan terapeutik / menyembuhkan.
Obat
atau medikasi dapat dikenal orang dengan nama-nama yang berlainan. Nama kimia
suatu obat menunjukkan isi atau unsur-unsur kimia yang terdapat didalamnya.
Nama tersebut menunjukkan susunan atom-atom kimia dalam rantai strukturnya,
contoh : nama kimia dari agent anti-inflamasi ibuprofen adalah 2-(4
isobutylpnenyl) asam propionate.
Nama
resmi suatu obat dibuat dan disetujui oleh lembaga resmi pemerintah yang
bertanggung jawab. Di Indonesia lembaga yang bertanggung jawab adalah Badan
Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Depkes RI. Nama resmi obat lebih dikenal
dengan sebutan nama generic obat atau obat generic. Setiap jenis obat hanya
mempunyai 1 nama generic yang lebih sederhana bila dibandingkan dengan nama
kimianya. Contohnya adalah obat-obat yang dikenal dengan ibuprofen,
asetominofen atau morfin.
Nama
merk atau merk dagang suatu obat adalah nama obat terdaftar yang dibuat oleh
produsen obat. Merk dagang suatu obat biasanya terdiri dari nama kimia dan nama
produsen obat, contoh : Paramex adalah gabungan nama generic paracetamol dengan
produsen obat yaitu konimex, afitamol, dll.
Standar
Pengobatan Nasional
Banyaknya
jenis obat yang diproduksi dan beredar di masyarakat, mendorong pemerintah
untuk menetapkan standard dan quality control terhadap obat-obat yang
akan dipasarkan kepada masyarakat. Pemerintah melalui Badan POM membagi produk
obat berdasarkan bahan dasar obat, bentuk fisik dan kimia, tes atas keaslian
zat penyusun, metode penyimpanan, kategori obat dan dosis normal per
pengggunaan.
Karena
banyaknya jenis obat yang diproduksi (therapeutics explosion) oleh
industri farmasi setiap tahunnya yang diikuti dengan informasi produk yang
obyektifitasnya masih diragukan. Selain itu, bersamaan dengan perkembangan
produk obat-obatan, informasi yang berkaitan dengan perkembangan obat tersebut
juga semakin banyak, sehingga diperlukan suatu pelayanan informasi obat dan
makanan kepada masyarakat yang dapat menjamin diperolehnya informasi yang benar
dan obyektif.
Pemerintah
melalui Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM) Badan POM menjadi rujukan pusat
informasi obat yang ada di Indonesia dengan mengembangkan dan membina
semua bentuk pelayanan informasi obat.
Pemerintah
melalui Kebijakan Obat Nasional yang ditetapkan pada tahun 1983 mengendalikan
dan mengawasi semua obat sebelum diedarkan dipersyaratkan melalui penilaian
kemanfaatan, keamanan dan mutu obat di BPOM RI. Peraturan ini tidak hanya
berlaku untuk obat baru tapi juga obat copy atau termasuk juga obat generic.
Obat copy adalah obat yang dibuat didalam negeri dengan mencontoh komponen obat
inovatornya atau yang terlebih dulu dibuat dan diedarkan sebagai obat paten.
Obat copy diperlukan untuk melakukan penilaian atas mutunya untuk membuktikan
bahwa obat copy mempunyai kemanfaatan dan keamanan yang sama dengan inovatornya
sehingga dalam penggunaannya dapat dipertukarkan dengan inovatornya. Metode
pengujian yang diterima secara internasional adalah uji bioekivalensi. Prinsip
dasar uji bioekivalensi adalah membandingkan proses penyerapan, metabolisme,
dan pengeluaran dari tubuh inovatornya.
Jenis
dan Tipe Obat
Obat dapat
diklasifikasikan melalui beberapa cara, antara lain berdasarkan bahan kimia
penyusunnya, efek yang ditimbulkan baik didalam laboratorium maupun tubuh
manusia. Pengetahuan tentang klasifikasi obat tentang manfaat, efek
samping, dan indikasi obat dibutuhkan terutama untuk obat-obat yang belum
dipublikasi secara umum.
Dibawah ini adalah table tentang klasifikasi obat (Tabel 1.1) dan bentuk
sediaan obat (Tabel 1.2).
Tabel
1.1 Klasifikasi Obat yang Digunakan Untuk Meningkatkan Fungsi Tubuh
Status kesehatan
|
Kelas Obat
|
Kerja Obat dalam Tubuh
|
Aktivitas dan
Latihan
|
Antihipertensi
Antiaritmia
Inotropik
Antiangina
Antikoagulan
Bronkodilator
|
Menurunkan tekanan
darah
Mengatur irama jantung
Menguatkan kontraksi jantung
Meningkatkan aliran darah koroner
Menghancurkan gumpalan darah
Membersihkan jalan nafas
|
Nutrisi dan
Metabolisme
|
Antibiotik
Antiemetik
Antasid
Insulin
Kortikosteroid
Tiroid
Vitamin & Mineral
|
Mencegah dan
menghilangkan infeksi
Menurunkan rasa mual / nausea
Menurunkan asam lambung
Menurunkan kadar gula darah
Menurunkan reaksi peradangan / inflamasi
Mengatur laju metabolisme
Suplemen untuk intake nutrisi inadekuat
|
Eliminasi
|
Laksative
Antidiare
Diuretik
|
Memperlancar
pengeluaran feses
Menyembuhkan diare
Meningkatkan produksi urine dan pengeluaran urine
|
Tidur dan Istirahat
Kognisi dan Persepsi
|
Sedative, Hipnosis
Analgesik
Antipsikotik
|
Meningkatkan tidur
Menurunkan nyeri
Menurunkan gejala psikotik (halusinasi)
|
Koping dan Stress
adaptasi
Seksualitas dan Reproduksi
|
Antiansietas
Antidepresan
Hormon ovarium
|
Menurunkan ansietas
Menurunkan depresi
Menghasilkan pengganti hormon
Menghasilkan pengendalian kelahiran (KB)
|
Tabel
1.2 Tabel Bentuk Sediaan Obat
Bentuk Sediaan
|
Keterangan
|
Sediaan
Obat Oral
Kapsul
Eliksir
Emulsi
Pelapis enteral
Lozenge
(troche) / tablet hisap
Bubuk
Suspensi / Larutan
Sirup
Tablet
Tincture
|
Pembungkus
terbuat dari gelatin yang berisi bubuk atau cairan obat
Sediaan obat cair dengan pelarut alcohol
Obat dalam bentuk suspensi / larutan kental
Pelapis khusus yang hanya larut ketika berada di usus dan tidak dilambung
karena sifatnya mengiritasi lambung
Tablet yang dapat dilarut dimulut (dihisap)
Bentuk
dasar obat, dilarutkan dengan air sebelum digunakan
Bentuk obat cair yang harus dikocok sebelum digunakan karena biasanya terpisah
dari larutannya
Obat dalam bentuk larutan air dan gula
Bentuk padat bubuk obat (bulat, elips) yang dapat dibelah menjadi 2 bagian.
Dapat dilapisi gula atau lapisan tipis untuk membantu daya kohesi
Larutan sangat kental yang larut dalam alcohol, biasanya berasal dari
tumbuhan dan dalam dosis kecil
|
Sediaan
Obat Topikal
Krim
Gel
atau jelly
Liniment
Lotion
Salep
Pasta
Suppositoria
Transdermal
patch
|
Sediaan
obat dalam bentuk semisolid, tidak lengket / berminyak
Sediaan semisolid yang transparan / bening yang mencair saat mengenai kulit
Cairan mengandung minyak yang digosokkan pada kulit
Suspensi cair atau kental, digunakan pada kulit
Obat yang dikombinasikan dengan larutan minyak
Cairan / salep yang kental untuk kulit
Obat yang mengandung gelatin (dibuat agar mudah diserap tubuh), hancur sesuai
dengan suhu tubuh dan perlahan diserap oleh tubuh.
Obat dalam bentuk sediaan plester, digunakan pada kulit untuk secara
bertahap mengontrol penyerapan obat pada kulit.
|
Obat
dapat juga dikelompokkan menjadi obat tanpa diresepkan (obat bebas), dengan
resep dan obat herbal.
Obat
bebas
adalah obat yang dapat dibeli atau didapatkan tanpa adanya resep dari tenaga
kesehatan yang berwenang. Obat-obat ini dijual bebas ditoko-toko atau apotik.
Hal tersebut dikarenakan obat-obat yang dijual bebas telah dinyatakan aman
untuk dikonsumsi tanpa adanya resep / pengawasan dari tenaga kesehatan. Contoh
obat bebas yang umum dijual dan dikonsumsi masyarakat adalah obat pereda gejala
flu dan analgesic ringan seperti aspirin dan asetominofen. Menjadi tugas Badan
POM untuk mengkontrol keamanan, efektivitas, dan publikasi obat-obat
bebas.
Obat bebas masih dianggap aman ketika langsung dikonsumsi. Namun, bahaya
obat-obatan bebas sering terjadi karena penyalahgunaan obat-obat tersebut.
Banyak orang lebih memilih mengkonsumsi obat sendiri daripada datang kepada
tenaga kesehatan untuk mendapatkan bantuan, bahkan banyak pula yang tidak dapat
tertolong karena keterlambatan penanganan oleh tenaga kesehatan.
Obat
dengan resep
adalah obat yang diperjualbelikan secara legal. Untuk pasien-pasien tertentu,
dibutuhkan pengawasan medis dalam pengunaan obat-obatan dikarenakan keamanan
akan efek terapi dan resiko keracunan akibat dosis yang diberikan. Dokter
bertanggungjawab dalam meresepkan obat. Namun, dalam kondisi tertentu perawat
atau asisten dokter dapat juga meresepkan obat.®
Obat
herbal atau tumbuhan obat adalah obat-obatan yang digunakan berasal dari tumbuhan dan
belum mengalami proses kimia dilaboratorium. Walaupun penggunaan obat-oabatan herbal
ini sudah sangat luas dimasyarakat, namun penggunaannya masih jarang dimasukkan
kedalam riwayat kesehatan klien. Perawat harus mengkaji penggunaan obat-obat
herbal ini. Contoh tanaman obat adalah ginko biloba yang dapat digunakan untuk
meningkatkan sirkulasi darah dan fungsi kognitif.
Banyak
orang mengira bahwa obat herbal sangat aman karena semua bahannya yang berasal
dari alam. Namun, menilai hal tersebut menjadi sulit karena obat herbal tidak
memiliki standar kualitas dan pengaturan yang resmi dari pemerintah. Beberapa
obat herbal dapat mengakibatkan kegawatan akibat interaksi kimiawi yang
terjadi, sehingga dibutuhkan lebih banyak penelitian laboratorium untuk menilai
manfaat, efektivitas, dosis yang tepat, dan reaksi kimia yang terjadi didalam tubuh.
Karena apabila sesuatu yang asing masuk kedalam tubuh, dapat menimbulkan reaksi
yang tidak terduga. Untuk itu perawat perlu untuk mengkaji penggunaan tablet,
ramuan, ataupun ekstrak yang berasal obat-obatan herbal untuk dibandingkan
dengan literatur yang menunjang.
Sistem
Distribusi dan Legal Aspek Pemberian Obat
Ada
empat hal yang perlu diperhatikan dalam sistem distribusi / pemberian obat yang
aman kepada klien, yaitu : a) penyediaan obat cadangan, b) sediaan dosis
obat, c) sistem pembagian obat, d) suplai obat mandiri. Setiap institusi
menerapkan aturan yang berbeda dalam melakukan distribusi obat. Fasilitas
kesehatan telah dirancang untuk persiapan pengobatan. Beberapa diantaranya
memiliki ruang utama penyimpanan suplai obat yang terkunci rapat dalam lemari
kaca dan trolley obat yang dapat berpindah berisi obat-obat yang diperlukan
klien dalam laci-laci yang terkunci atau obat-obat untuk pasien tertentu
tersimpan dalam kabinet obat didekat kamar pasien. Beberapa rumah sakit
memiliki apotik kecil yang dekat dengan ruang rawat pasien. Namun, dalam
pengontrolan penggunaan obat-obatan yang bersifat narkotik, suplai obat
disimpan dalam laci yang terkunci pada setiap fasilitas kesehatan yang
menyediakannya.
Penyediaan
obat cadangan
Penyediaan
obat pada ruang rawat pasien terdiri dari penyimpanan obat-obatan yang
diresepkan dalam jumlah yang besar serta disimpan dalam lemari kaca yang
terkunci. Pemberian obat ini dilakukan oleh perawat sesuai dengan
kebutuhan klien. Perawat mengambil simpanan obat yang tersedia dalam jumlah
yang besar dalam botol atau kontainer obat. Contoh dari penyediaan obat adalah
obat-obat narkotik, vitamin, atau cairan saline / infus.
Sediaan
dosis obat
Pembagian
obat dalam dosis yang telah ditentukan melibatkan farmasist untuk membagikan
dan memberikan label pada pembungkus atau tempat penyimpanan obat yang telah
sesuai dengan dosis masing-masing pasien. Obat-obat tersebut disimpan dalam
tempat khusus dan diberikan kepada klien pada waktu-waktu tertentu. Sistem ini
dilakukan pada fasilitas kesehatan yang besar seperti rumah sakit karena
membutuhkan pengecekkan ulang demi keamanan klien. Baik farmasist maupun
perawat sama-sama berperan dalam penyiapan dan pemberian obat kepada klien
serta mengevaluasi efek dan reaksi interaksi obat atau kontraindikasi obat.
Sistem
pembagian obat secara otomatis
Sistem
ini menggunakan mesin yang berfungsi seperti mesin ATM untuk mengambil obat
dengan cepat bila dalam keadaan darurat. Mesin ini juga dapat mengkombinasi
obat sesuai dengan kebutuhan. Perawat menggunakan kata kunci atau password,
kemudian memilih menu / daftar obat yang dibutuhkan yang telah tersedia secara
komputerisasi. Mesin ini juga menyimpan data semua obat yang dikeluarkan
sekaligus mengkontrol obat yang digunakan oleh masing-masing pasien. Mesin ini
telah banyak digunakan di fasilitas-fasilitas kesehatan terutama dibeberapa
negara maju. Namun, keberadaan mesin ini di Indonesia tampaknya masih sulit
untuk ditemukan.
Suplai
obat klien mandiri
Pada
sistem ini obat diberikan dan disimpan oleh klien secara langsung. Obat-obatan
disimpan dalan tempat tersendiri untuk setiap klien. Dapat diletakkan pada meja
didekat klien, sehingga klien dapat mudah menjangkaunya saat waktunya untuk
minum obat. Sistem ini dapat dilakukan bersamaan dengan sistem penyimpanan
terpusat. Metode ini memberi kesempatan kepada klien untuk terlibat dalam
pengobatan dan perawatannya. Hal ini juga menghemat waktu perawat untuk
memberikan obat serta memberikan waktu kepada perawat untuk mengevaluasi
kemampuan klien dalam ketaatan minum obat.
Di Indonesia, selain Badan POM dan Depkes yang bertanggung jawab dalam
mengontrol distribusi obat kepada masyarakat, tenaga kesehatan juga berperan
dalam penggunaan obat-obat tersebut oleh masyarakat. Saat ini, untuk obat yang diresepkan
masih merupakan wewenang tenaga medis. Sedangkan, farmasist dan perawat
berwenang untuk menyiapkan dan memberikan obat yang telah siap untuk dikonsumsi
oleh masyarakat.
Resep
Obat
Dalam
resep obat yang dibuat oleh tenaga kesehatan terdapat komponen-komponen yang
harus diperhatikan, antara lain : nama lengkap klien,nama obat yang diberikan
beserta dengan jumlah dan dosis obat yang diinginkan serta frekuensi pemberian
selama 1 hari. Didalam resep juga harus terdapat tanggal dan waktu resep dibuat
serta tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan resep. Nama klien harus
tercantum lengkap untuk menghindari kesamaan nama dengan klien lainnya. Usia
atau nomor rekam medik atau registrasi klien dapat juga dicantumkan.
- Nama Obat : nama
generik atau merk dagang obat. Dituliskan dengan jelas agar tidak tertukar
dengan nama obat lain.
- Dosis Obat :
dapat menggunakan metrik, apotekari, atau pengukuran rumah tangga,
misalnya digoxin 0,25 mg 1 dd (artinya 1 kali sehari).
- Cara Pemberian :
obat yang sama dapat diberikan dengan beberapa cara yang berlainan, misal
PO (per oral), IV (intravena), Supp (suppotoria).
Dibawah
ini adalah beberapa istilah yang lazim digunakan didalam resep obat
Istilah
|
Artinya
|
Istilah
|
Artinya
|
a atau a.
a.c.
ad lib
aq.
bid , 2 dd
d
prn
q
qh
g
syr
h.s.
Rx
stat.
R.
atau PR
|
sebelum
sebelum makan
bebas
air
dua kali sehari
hari
bila dibutuhkan
setiap
setiap jam
gram
sirup
sebelum tidur
dibeli, resep
segera, langsung diminum
rectal, per rectal
|
mg
No atau no.
p.c.
cap., caps
p atau p.
PO
IV
Inj.
IM
tab.
qid
q6h
tid, 3 dd
sc
qs
|
miligram
jumlah obat
setelah makan
kapsul
per atau setelah
per oral
intra vena
injeksi
intra muskular
tablet
4 kali sehari
setiap 6 jam
3 kali sehari
subkutaneus
sebanyak
yg dibutuhkan
|
Selain
obat yang dipesankan melalui resep, perawat juga bertanggung jawab dalam
mengelola pesanan obat yang harus diberikan kepada klien dengan cara lainnya.
Contohnya adalah :
- Standing order adalah pesanan
obat yang harus diberikan kepada klien selama beberapa hari, pesanan obat
ini harus dicek dan ditulis ulang setiap hari sampai dengan ada perubahan
/ penggantian obat atau dosis obat.
- PRN order adalah pesanan
pemberian obat dalam waktu tertentu saja atau bila dibutuhkan. Berasal
dari kata Latin pro re nata. Misalnya : obat nyeri, laksative, atau obat
mual.
- Order sekali
waktu adalah pesanan pemberian obat yang hanya satu kali untuk diberikan,
misalnya obat-obat preoperative / anestesi.
Stat order adalah pesanan pemberian obat yang segera diberikan
kepada klien dan hanya berlaku satu kali pemberian, misalnya pemberian
furosemid 20 mg IV stat.
- Melalui telepon,
faximile, atau secara verbal adalah pesanan pemberian obat yang dipesankan
melalui telepon atau alat komunikasi lainnya. Dan dikarenakan pemberi
pesanan tidak ada ditempat untuk menulis dan menanda tangani pesanan obat
maka perawat harus mencatat pesanan tersebut dalam daftar obat klien dan
diberi kode T.O (telephone order) serta menandatanganinya. Namun, pemberi
pesanan obat tersebut harus tetap menandatangani dihari berikutnya.
Reaksi
dan Efek Obat
Farmakokinetik
Adalah
proses obat memasuki tubuh dan akhirnya keluar dari tubuh. Proses terdiri dari
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat dari tubuh manusia. Setiap
obat mempunyai karakteristik khusus dalam kecepatan dan bagaimana obat tersebut
akan diserap oleh jaringan, kemudian dihantarkan pada sel-sel tubuh, dan
berubah menjadi zat yang tidak berbahaya bagi tubuh hingga akhirnya keluar dari
tubuh kita.
Absorpsi
Adalah
proses zat-zat dari obat masuk ke dalam aliran / pembuluh darah. Cara pemberian
berdampak pada kecepatan dan keseluruhan bagian obat yang akan diserap tubuh.
Pemberian secara intravena merupakan cara tercepat dalam absorpsi obat,
kemudian diikuti dengan pemberian secara intramuskular, subkutaneus, dan oral.
Distribusi
Adalah
proses pengiriman zat-zat dalam obat kepada jaringan dan sel-sel target. Proses
dipengaruhi oleh sistem sirkulasi tubuh, jumlah zat obat yang dapat terikat
dengan protein tubuh serta jaringan atau sel tujuan dari obat tersebut.
Metabolisme
Adalah
proses deaktivasi / detoksifikasi zat-zat obat didalam tubuh. Proses ini
terutama berlangsung didalam hepar, namun juga berlangsung di dalam ginjal,
plasma darah, mukosa usus, dan paru-paru. Gangguan pada fungsi hepar, termasuk
diantaranya adalah penurunan fungsi hepar akibat penuaan atau penyakit dapat
mempengaruhi kecepatan detoksifikasi obat yang berlagsung didalam tubuh.
Ekskresi
Adalah
proses mengeluarkan obat atau zat-zat sisa metabolismenya dari dalam tubuh.
Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan sebagian besar sisa metabolisme tersebut,
sebagian yang lain dikeluarkan melalui paru-paru dan intestinal. Penurunan
fungsi ginjal akan sangat berpengaruh buruk pada proses ini.
Farmakodinamik
Adalah
proses yang berhubungan dengan fungsi fisiologis dan biokimia dari obat didalam
tubuh. Pemahaman tentang proses ini sangat membantu perawat untuk mengevaluasi
efek terapeutik dan efek lainnya dari pengobatan.
Reaksi kerja obat adalah hasil dari reaksi kimia antara zat-zat obat dengan
sel-sel tubuh untuk menghasilkan respon biologis tubuh. Kebanyakan obat
bereaksi dengan komponen sel untuk menstimulasi perubahan biokimia dan
fisiological sehingga obat menjadi efektif bagi tubuh. Reaksi ini dapat terjadi
secara lokal maupun sistemik didalam tubuh. Contohnya adalah efek lokal
terlihat terjadi pada pemberian obat topikal pada kulit. Sedangkan pada
pemberian obat analgesik, efeknya akan meliputi beberapa sistem, termasuk
diantaranya yaitu sistem saraf (efek sedatif), paru-paru (depresi pernafasan),
gastrointenstinal (konstipasi) walaupun efek yang diharapkan adalah pereda
nyeri. Efek medikasi dapat dimonitor melalui perubahan klinis yang
terjadi pada kondisi klien. Secara umum, peningkatan kualitas pada gejala dan
hasil laboratorium menunjukkan efektivitas medikasi.
Efek
Terapeutik
Adalah
efek yang diinginkan atau efek tujuan dari medikasi yang diberikan. Efek
tersebut bervariasi berdasarkan bahan dasar obat, lama penggunaan obat, dan
kondisi fisik klien. Beberapa diantaranya juga dipengaruhi interaksi antar obat
yang dikonsumsi. Puncak reaksi obat sangat bervariasi tergantung dari obat yang
diberikan dan cara pemberian yang dilakukan.
Efek
Merugikan
Adalah
efek lain dari obat selain efek terapi yang diinginkan. Efek merugikan ini
dapat merupakan efek lanjutan dari efek terapi, misalnya hipotensi dapat
terjadi ketika pemberian antihipertensi. Beberapa efek yang merugikan ini dapat
ditangani segeraseperti konstipasi, namun ada pula yang memerlukan perhatian
lebih, misalnya depresi pernafasan. Efek ini sering terjadi pada klien yang
sangat parah kondisi dan menerima banyak medikasi (Cleveland, Aschenbrenner,
Venable, & Yensen, 1999).
Efek
samping
Efek
merugikan obat dengan skala kecil disebut juga efek samping obat. Banyak efek
samping yang tidak berbahaya dan dapat diabaikan, namun ada pula yang dapat
membahayakan terutama ketika ada obat baru yang diberikan atau ditambahkan
dosisnya. Perawat harus waspada terhadap efek merugikan dari obat ini.
Reaksi
hipersensitivitas
Reaksi
hipersensitivitas terjadi bila klien sensitif terhadap efek dari pengobatan
yang dilakukan. Hal ini dapat terjadi bila dosis yang diberikan lebih dari
kebutuhan klien sehingga menimbulkan efek lain yang tidak diinginkan. Contohnya
adalah ketika seorang pria dewasa dengan berat badan normal biasanya dapat
diberikan meperidin (sedatif) dengan dosis 75 – 100 mg, namun pada klien lansia
dengan berat badan rendah akan mengalami durasi reaksi yang lebih lama dan
dapat mengalami penurunan kesadaran dengan dosis meperidin yang sama. Biasanya,
dengan menurunkan dosis dan meningkatkan interval waktu pemberian, maka obat
tersebut dapat dikonsumsi dengan aman.
Toleransi
Adalah
reaksi yang terjadi ketika klien mengalami penurunan respon / tidak berespon
terhadap obat yang diberikan, dan membutuhkan penambahan dosis obat untuk
mencapai efek terapi yang diinginkan. Beberapa zat yang dapat menimbulkan
toleransi terhadap obat adalah nikotin, etil alkohol, opiat dan barbiturat.
Reaksi
alergi
Adalah
akibat dari respon imunologik terhadap medikasi. Tubuh menerima obat sebagai
benda asing, sehingga tubuh akan membentuk antibodi untuk melawan dan
mengeluarkan benda asing tersebut. Akibatnya akan menimbulkan gejala / reaksi
alergi yang dapat berkisar dari ringan sampai berat. Reaksi alergi yang ringan
diantaranya adalah gatal-gatal (urtikaria), pruritus, atau rhinitis, dapat
terjadi dalam hitungan menit sampai dengan 2 minggu pada klien setelah
mengkonsumsi obat. Reaksi pada kulit ( gatal-gatal, kemerahan, dan lesi)
biasanya meningkat setelah klien menghentikan medikasi terutama obat yang
memiliki kegunaan yang sama dengan antihistamin.
Reaksi alergi yang parah dapat mengakibatkan gejala seperti sesak nafas (wheezing,
dispneu), angioedema pada lidah dan orofaring, hipotensi, dan takikardia
segera setelah pemberian obat. Reaksi ini disebut reaksi anafilaktik dan
membutuhkan tindakan medis segera karena dapat berakibat fatal. Tindakan yang
dapat dilakukan adalah menghentikan segera pemberian obat tersebut,
segera berikan epinefrin, cairan infus (normal saline), steroid, dan
antihistamin.
Toksisitas
Atau
keracunan obat adalah reaksi yang terjadi karena dosis berlebih atau
penumpukkan zat dalam darah akibat dari gangguan metabolisme atau ekskresi.
Perhatian harus diberikan pada dosis dan tingkat toksik obat, dengan
menevaluasi fungsi ginjal dan hepar. Beberapa obat dapat langsung berefek
toksik setelah diberikan, namun obat lainnya tidak menimbulkan efek toksik apapun
selama berhari-hari lamanya.
Keracunan obat dapat mengakibatkan kerusakan pada fungsi organ. Hal yang
umum terjadi adalah nefrotoksisitas (ginjal), neurotoksisitas (otak),
hepatotosisitas (hepar), imunotoksisitas (sistem imun), dan kardiotoksisitas
(jantung). Pengetahuan tentang efek toksisitas obat akan membantu perawat untuk
mendeteksi dini dan mencegah kerusakan organ secara permanen pada klien.
Interaksi
antar obat
Hal
ini terjadi ketika efek dari suatu obat terganggu akibat adanya obat lain atau
makanan yang mempengaruhi kerja obat didalam tubuh. Interaksi ini dapat
berbentuk saling menguatkan efek terapi dari obat atau saling bertentangan
dengan efek terapi. Kadang-kadang makanan dapat juga mempengaruhi reaksi obat,
contohnya adalah deaktivasi antibiotik tetrasiklin akibat makanan yang berasal
dari produk susu.
Dalam beberapa kasus, juga terjadi reaksi penggumpalan zat-zat yang tedapat
didalam obat, hal ini disebut reaksi inkompabilitas obat. Hampir seluruh
obat-obatan akan berefek buruk bila berinteraksi dengan obat lainnya, namun
tidak selamanya dapat dihindarkan untuk memberikan obat yang tidak saling
berefek merugikan.
Pemberian
Obat
Dalam
memberikan obat kepada klien, perawat harus memperhatikan hal-hal berikut :
Interpretasikan
dengan tepat resep obat yang dibutuhkan
Perawat
bertanggung jawab untuk melakukan interpretasi yang tepat terhadap order obat
yang diberikan. Saat order obat yang dituliskan tidak dapat terbaca, maka dapat
terjadi misinterpretasi terhadap order obat yang harus diberikan. Segera
klarifikasikan kepada pemberi resep atau tim medis yang menulis resep bila
terdapat ketidakjelasan tulisan atau istilah yang digunakan, apalagi bila cara
dan frekuensi pemberian tidak tercantum.
Lakukan evaluasi untuk melihat apakah jumlah dan cara pemberian yang diresepkan
aman untuk dilakukan pada klien. Ketahui dengan pasti atau lihat kembali dosis
yang diberikan, cara pemberian, kontraindikasi, dan efek samping yang mungkin
terjadi sebelum memberikan obat. Bila perawat tidak yakin dengan cara pemberian
atau dosis yang diinginkan, tanyakan langsung pada tim medis karena perawat
berhak dan bertanggung jawab langsung atas keselamatan klien.
Hitung
dengan tepat dosis obat yang akan diberikan sesuai dengan resep
Permintaan
dosis obat biasanya ditulis dalam angka-angka matematika, begitupula dengan
sediaan obat yang ada. Perawat harus dapat menghitung dosis obat yang akan
diberikan pada klien, walaupun pada beberapa obat sangat berbeda antara sediaan
obat dengan dosis obat yang akan diberikan. Bila dosis obat yang diinginkan
sama dengan dosisi obat yang tersedia, gunakan rumus berikut untuk menghitung
dosis obat :
Contoh
1:
Bp. R membutuhkan
400 mg antibiotic sesuai dengan resep yang ada, tablet antibiotic yang
tersedia adalah 200 mg. Berapa tablet antibiotic yang perawat harus berikan
pada Bp. R ?
|
Jawab :
- Jika tablet
yang harus diberikan = X Tablet.
- Diketahui: 1
tablet = 200 mg
- Maka:
- X = 400
mg/tablet
- X= 400 mg /200
mg
- X = 2 tablet
|
200
mg
= 400 mg
1
X&&& tablet
Contoh
2 :
Ibu S, 65 tahun,
harus diberikan obat antiaritmia (digoksin) sebanyak 0,25 mg per intra vena
(IV). Pada vial / kemasan obat tersebut tertulis 0,125 mg = 1 cc.
Berapa cc digoksin yang harus perawat berikan untuk Ibu S ?
|
Jawab :
Dosis digoksin yang harus Ibu S
terima = X cc.
0,125 mg = 0,25
mg
1
cc
X
0,125X = 0,25
X = 2 cc
|
Menghitung
dosis pada anak
Dosis
obat yang diberikan pada anak-anak dihitung berdasarkan berat badan anak atau
luas permukaan tubuh anak. Kebanyakan obat-obat tersebur diproduksi khusus
untuk anak sehingga tidak dihitung dengan cara yang sama pada orang dewasa.
Perhatikan ukuran dan laju metabolisme pada anak, kaena hal ini sangat
berpengaruh pada reaksi terapi obat yang diharapkan. Observasi selalu respon
yang terjadi sehingga dosis yang diberikan dapat disesuaikan dengan kondisi
anak.
Contoh :
|
An. P, 2 tahun, membutuhkan
paracetamol untuk menurukan panas tubuhnya.Berat badan (BB) An. P 10 kg.
Dalam kemasan obat tercantum dosis untuk anak adalah 10 mg/KgBB.
Jawab: Misalkan Anak. P membutuhkan = a mg Paracetamol.
Maka a= 10 mg X 10 Kg = 100 mg
|
|
Gunakan
prosedur yang sesuai dan aman, ingat prinsip 5 benar dalam pengobatan
Setelah
memvalidasi dan menghitung dosis obat dengan benar, pemberian obat dengan
akurat dapat dilakukan berdasarkan prinsip 5 benar, yaitu :
PRINSIP 5 BENAR PENGOBATAN :
- Benar Klien
- Benar Obat
- Benar Dosis
Obat
- Benar Waktu
Pemberian
- Benar Cara
Pemberian
|
Benar
Klien
Benar
klien berarti bahwa obat yang diberikan memang benar dan sudah dipastikan harus
diberikan kepada klien yang bersangkutan. Kesalahan identifikasi klien dapat
terjadi jika terdapat 2 orang klien dengan nama yang sama atau mirip berada
pada satu ruangan atau unit. Untuk menghindari kesalahan pemberian, cocokkan
selalu nama klien pada papan nama di tempat tidur klien dengan catatan rekam
medik
Benar
Obat
Benar
yang kedua adalah benar obat, yang berarti obat yang diberikan adalah obat yang
memeng diminta untuk diberikan kepada klien tersebut sesuai dengan dosis yang
diinginkan tim medis. Kesalahan pemberian obat dapat terjadi ketika dalam
situasi :
Farmasist
atau apoteker salah memberikan obat dengan obat yang hamper sama dengan obat
yang dipesankan
Apoteker
atau perawat salah memberikan obat yang mempunyai nama / merk sama dengan obat
yang dimaksud
Tim
medis atau pemberi resep salah menuliskan obat atau obat tersebut tidak sesuai
dengan klien
Perawat
memberikan obat yang tidak dipersiapkan oleh perawat sendiri
Perawat
salah mengidentifikasi obat
Untuk
mengurangi kesalahan pemberian obat dapat digunakan sistem “dosis obat per
unit”, yaitu pemberian obat yang telah dipersiapkan dan diberikan label oleh
perawat atau apoteker yang bersangkutan., memeriksa kembali label obat yang
akan diberikan dengan catatan pemberian obat, mengetahui nama generic atau merk
dagang obat serta manfaat obat tersebut diberikan kepada klien, dan
mendengarkan dengan teliti komentar klien tentang obat yang diberikan, misalnya
“ ini tidak seperti obat yang kemarin saya minum.”
Bila mendengar hal demikian, segera tarik obat yang akan diberikan dan cocokkan
dengan catatan pemberian obat atau order obat.
Benar
Dosis Obat
Benar
dosis obat berarti obat yang diberikan memang dosis yang diinginkan oleh tim
medis dan dosis tersebut telah sesuai untuk klien. Kesalahan dosis obat dapat
terjadi bila tim medis memberikan obat yang tidak sesuai dengan klien, apoteker
salah mengeluarkan jumlah obat, perawat salah memberikan dosis obat, perawat
atau asisten perawat salah menuliskan kembali obat-obatan yang diresepkan oleh
tim medis.
Kesalahan
pemberian dosis obat dapat dihindari bila baik perawat dan apoteker sama-sama
mengetahui dosis yang diberikan. Perawat dapat melakukan pengecekkan ulang
dengan tim medis bila terdapat keraguan dengan kesesuaian dosis obat. Lakukan
pengecekkan ulang terhadap dosis obat yang diberikan bila :
- Klien mengatakan
bahwa dosis obat berubah dari biasanya
- Beberapa obat
harus diberikan dalam waktu yang bersamaan
- Dosis obat yang
diinginkan dalam jumlah yang besar
- Jumlah sediaan
obat yang tersedia dari apoteker tidak sesuai dengan dosis obat yang harus
diberikan kepada klien
Benar
Waktu Pemberian
Benar
yang keempat adalah benar waktu pemberian, artinya adalah memberikan obat
sesuai dengan frekuensi dan waktu yang sudah ditetapkan. Pembeagian obat yang
dilakukan secara rutin sangant bervariasi pada setiap institusi, misalnya :
untuk pemberian obat pagi, diberikan pada pukul 07.30, 08.00, atau 09.00. Atau
waktu pemberian obat dibuat berdasarkan frekuensi, misalnya : untuk obat yang
diberikan 4 kali sehari; waktu yang digunakan adalah pukul 09.00, 13.00, 17.00,
dan 21.00, atau beberapa institusi menetapkan 08.00, 12.00, 16.00, dan 20.00.
Masalah
ketepatan waktu juga sangat berbeda pada beberapa institusi,
misalnya ada institusi yang menganggap pemberian obat setengah jam sampai
1 jam sebelum atau sesudah waktu yang seharusnya sebagai “tepat waktu”. Banyak
factor yang mempengaruhi sebuah institusi dalam menetapkan waktu pemberian
obat, diantaranya adalah :
- Obat akan lebih
efektif bila diberikan selama 1 hari
- Obat yang
memiliki reaksi terhadap makanan sebaiknya diberikan sebelum makan
diberikan
- Obat yang
berefek mengiritasi lambung harus diberikan bersamaan dengan waktu makan
Benar
Cara Pemberian
Benar
yang terakhir adalah benar cara pemberian, artinya adalah memberikan obat
sesuai dengan pesanan medis dan cara tersebut aman dan sesuai untuk klien.
Tim
medis dalam menuliskan resep atau instruksi harus menjelaskan cara pemberian
obat dengan spesifik. Bila cara pemberian dinilai kurang tidak atau kurang
cocok dengan kondisi klien, segera lakukan klarifikasi dengan tim medis atau
pemberi instruksi tersebut.
Untuk memastikan obat diberikan melalui cara yang sesuai, perawat harus
mengetahui cara pemberian obat yang biasa digunakan dan cara pemberian obat
yang aman bila harus sesuai dengan instruksi yang diberikan. Lakukan validasi
ulang terhadap obat sebelum melakukan pemberian obat.
Dokumentasikan
pemberian obat sesuai dengan standar prosedur yang berlaku di rumah sakit.
Pendokumentasian
pemberian obat termasuk didalamnya adalah waktu, cara, dosis, dan area
pemberian (intradermal, SC, atau IM). Dokumentasi yang detail dibutuhkan bila
ternyata perawat tidak memberikan obat tersebut pada waktu seperti biasanya,
harus tercantum alasan mengapa perawat tidak memberikan obat dengan cara
semestinya, misalnya ada perubahan cara pemberian dari IM ke PO, sehingga klien
tidak perlu diinjeksi.
Pemakaian beberapa obat seperti insulin atau heparin dicatat dalam lembar
tersendiri, sehingga dapat dimonitor regimen pengobatan yang diberikan kepada
klien baik oleh tim medis maupun perawat. Setiap melakukan injeksi terhadap
klien, sebaiknya didokumentasikan dengan jelas area yang diinjeksi. Hal ini
perlu dilakukan untuk menghindari penusukkan atau injeksi pada area yang sama
untuk beberapa kali sehingga dapat merugikan atau membahayakan klien.
Perawat bertanggung jawab melakukan dokumentasi efek terapi dan non terapi dari
pengobatan yang diberikan. Misalnya, pada pemberian obat opiate atau sejenis
morfin, dokumentasikan jumlah / dosis yang diberikan pada catatan klien. Bila
klien mengalami reaksi alergi setelah pemberian obat, dokumentasikan reaksi
yang timbul dan onset / waktu kejadian tersebut.
Cara-cara
Pemberian Obat
Pemberian
Per Oral (PO)
Pemberian
obat secara oral dapat dilakukan melalui mulut dan langsung ditelan oleh klien,
obat diletakkan dibawah lidah (sublingual) atau diletakkan dipipi bagian dalam
(buccal) serta ditunggu sampai obat tersebut larut. Pemberian obat secara oral
juga dapat dilakukan melalui selang nasogastrik (NGT).
Pemberian
obat melalui oral atau mulut memang merupakan cara termudah dan paling
sederhana. Cara tersebut meminimalkan ketidaknyamanan pada klien dan dengan
efek samping yang paling kecil, serta paling murah dibandingkan dengan cara
pemberian yang lain.
Bila
klien tidak dapat menelan air atau cairan lain atau merasa mual dan muntah,
pemberian obat per oral segera dihentikan dan obat diberikan dengan cara
lainnya. Dan jika klien dipuasakan (NPO – Nothing Per Oral) sebelum dilakukan
pembedahan, tim medis dapat memilih obat oral yang dapat diberikan dengan air
yang terbatas. Atau obat per oral dapat ditunda pemberiannya atau diberikan
dengan cara yang lain bila klien baru saja selesai mengalami pembedahan. Hal
tersebut dilakukan sampai fungsi saluran pencernaan klien kembali normal.
Bila
klien dilakukan gastricsuction atau terpasang NGT dengan tujuan bilas lambung,
pemberian obat per oral dihentikan dan diberikan dengan cara yang lain. Namun,
beberapa dokter kadang tetap menginstruksikan pemberian obat melalui NGT dengan
menghentikan sementara proses bilas lambung, caranya adalah dengan menutup
selang NGT minimal selama 30 menit setelah diberikan obat melalui NGT.
Pemberian
Topikal
Pemberian
obat secara topical adalah pemberian obat dengan cara mengoleskan obat pada
permukaan kulit atau membran mukosa, dapat pula dilakukan melalui lubang yang
terdapat pada tubuh (anus).
Obat yang biasa digunakan untuk pemberian obat topical pada kulit adalah obat
yang berbentuk krim, lotion, atau salep. Hal ini dilakukan dengan tujuan
melakukan perawatan kulit atau luka, atau menurunkan gejala gangguan kulit yang
terjadi (contoh : lotion). Krim, dapat mengandung zat anti fungal (jamur),
kortikosteorid, atau antibiotic yang dioleskan pada kulit dengan menggunakan
kapas lidi steril. Bersihkan dan keringkan kulit sebelum mengoleskan krim obat
tersebut. Krim dengan antibiotic sering digunakan pada luka bakar atau ulkus
dekubitus. Sedangkan salep, dapat digunakan untuk melindungi kulit dari iritasi
atau laserasi kulit akibat kelembaban kulit pada kasus inkontenansia urin atau
fekal. Bersihkan dan tepuk-tepuk perlahan pada area yang diberikan salep.
Obat transdermal adalah obat yang dirancang untuk larut kedalam kulit untuk
mendapatkan efek sistemik. Tersedia dalam bentuk lembaran. Lembaran obat
tersebut dibuat dengan membran khusus yang membuat zat obat menyerap perlahan
kedalam kulit. Lembaran ini juga dapat sekaligus mengontrol frekuensi
penggunaan obat selama 24 – 72 jam.
Obat tetes atau salep mata digunakan untuk mengobati iritasi, infeksi atau
glaucoma yang terjadi pada mata. Obat tetes telinga diberikan untuk mengatasi
infeksi telinga atau untuk menghancurkan kotoran yang mengeras didalam liang
telinga. Gunakan dalam suhu yang sama dengan lingkungan sekitar, karena bila
terlalu panas atau dingin dapat menyebabkan vertigo, mual dan nyeri pada klien.
Obat suppositoria atau rectal medication diberikan melalui anus dan
berbentuk seperti peluru atau cairan. Diberikan untuk mengatasi keluhan
sistemik atau sebagai laksatif bila klien mengalami konstipasi. Namun, obat
antiemetik dapat juga diberikan melalui rectal bila pemberian dengan cara yang
lain tidak berhasil. Cairan enema diberikan melalui rectal dengan menggunakan
alat khusus. Cairan enema terdiri dari gliserin cair, sejumlah 100 mL dan
dibiarkan sebentar sekitar 5 – 10 menit, sebelum akhirnya klien merasa ingin
defekasi.
Vaginal douche atau medikasi / obat yang diberikan melalui vagina berupa
busa, cairan, jelly, krim, atau tablet. Indikasi pengobatan adalah untuk
kontrasepsi, membunuh bakteri sebelum pembedahan, mengatasi keluhan atau
infeksi yang terjadi pada vagina atau untuk menstimulasi / mempercepat
kelahiran bayi
Pemberian
Parenteral
Pemberian
obat melalui parenteral berarti pemberian obat melalui injeksi atau
infuse. Dapat diberikan secara intradermal (ID), subkutaneus (SC),
intramuscular (IM) / jaringan intralesional, intravena (IV) /
sirkulasi intra-arterial, intraspinal atau melalui ruang intra-artikular.
Obat yang diberikan secara parenteral akan diabsorbsi lebih banyak dan bereaksi
lebih cepat daripada obat yang diberikan secara topical atao oral. Pemberian
obat parenteral dapat menyebabkan resiko infeksi bila perawat tidak
memperhatikan dan melakukan tehnik aseptic dan antiseptic pada saat pemberian
obat. Karena pada pemberian parenteral, obat diinjeksikan melalui kulit,
menembus sistem pertahanan kulit. Komplikasi yang sering terjadi adalah bila
pH, osmolalitas dan kepekatan cairan obat yang diijeksikan tidak sesuai dengan
kondisi tempat penusukkan, serta dapat mengakibatkan merusakan jaringan sekitar
tempat insersi / injeksi. Peralatan yang khusus diperlukan untuk menunjang
pemberian obat parenteral, sehingga membutuhkan biaya yang lebih mahal
dibandingkan pemberian obat dengan cara yang lain.
Pemberian
secara Inhalasi
Digunakan
pada pembedahan untuk memberikan anestesi pada klien atau untuk mengatasi
gangguan pernafasan. Perawat anestesi memberikan obat-obatan anestesi melalui
mesin respiratori yang tersedia di ruangan operasi. Obat-obat yang dapat
diinhalasi melalui mesin ventilator, inhaler-nebulizer, inhaler sekali
pakai. Obat untuk inhalasi dalam bentuk cair dimasukkan kedalam mesin
ventilator atau nebulizer dan kemudian akan dirubah menjadi partikel-partikel
gas yang dapat dihirup melalui hidung. Pengobatan ini dilakukan sebagai
bronkodilator, untuk membuka jalan nafas dan memperbaiki pola nafas.
Pengobatan dengan inhalasi mempunyai efek yang sangat cepat terhadap kerja
paru-paru dan mempengaruhi sirkulasi oksigen di seluruh tubuh. Pada pengobatan
inhalasi, perawat perlu untuk mengkaji status pernafasan klien (ditunjukkan
dengan pola nafas / usaha untuk bernafas, suara nafas, dan penggunaan otot-otot
pernafasan) sebelum dan sesudah pemberian obat melalui inhalasi.
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PENGOBATAN
Pengkajian
Pengkajian
sebelum memberikan obat kepada klien diperlukan untuk menentukan efektivitas
dan mengidentifikasi efek lain dari obat yang diberikan. Terutma bila terdapat
gejala dari efek non terapi yang timbul seperti perubahan kesadaran, penurunan
berat badan, dehidrasi, agitasi atau kelelahan, anoreksia, retensi urin, atau
gangguan istirahat. Perlu juga diperhatikan reaksi antar obat atau efek obat terhadap
penyakit.
Pengkajian
keperawatan meliputi pengkajian terhadap riwayat penggunaan obat dahulu, dengan
atau tanpa resep dan obat tradisional. Perawat juga perlu mengkaji sistem
pendukung dalam keluarga dan lingkungan bagi klien. Pastikan tidak terdapat
gangguan farmakodinamik atau farmakokinetik pada tubuh klien. Lakukan evaluasi
terhadap kemampuan klien mengkonsumsi obat yang diberikan secara benar. Lakukan
pengkajian berkenaan dengan prinsip hidupdan kepercayaan yang dimiliki
klien berhubungan dengan pengobatan yang diberikan, apakah pengobatan tersebut
dapat melukai klien atau tidak.
Indikator
Pengkajian :
- Diagnosa medis,
penyakit atau masalah kesehatan pada klien.
- Riwayat putus
obat atau pemakaian obat-obatan (termasuk alergi dan toleransi terhadap
obat).
- Jumlah dan jenis
obat yang pernah dikonsumsi (termasuk diantaranya adalah obat bebas dan
tradisional).
- Jangka waktu
pemakaian obat.
- Periode terakhir
dari evaluasi pemberian oabat yang diresepkan oleh tenaga medis yang
terkait.
- Instruksi yang
diberikan tentang cara pemberian obat.
- Kesalahan pada
resep obat.
- Cara penyimpanan
obat
- Efek yang
diharapkan dari obat
- Efek non terapi
yang mungkin timbul
- Status nutrisi
dan fungsi kognitif, sensori dan afektif.
- Masalah tehnis
berkaitan dengan penggunaan obat (sulit membaca label obat, tidak dapat
mengkonsumsi obat dengan mandiri / harus dibantu orang lain)
- Riwayat
kehamilan dan menyusui (untuk klien wanita).
Perencanaan
Pencegahan
Sebelum
memberikan obat, perawat sebaiknya melakukan :
- Baca kembali
dengan teliti catatan pemakaian obat klien, hal ini
dilakukan untuk menghindari pemberian obat yang dapat mempengaruhi efek
obat yang telah diberikan sebelumnya.
- Diet makanan dan
cairan klien,
hal ini berkaitan dengan penatalaksanaan pengobatan pada klien. Untuk klien
yang akan menjalani pembedahan sementara waktu akan diperintahkan NPO,
maka perawat harus mengingatkan klien untuk menghentikan pemakaian obat
secara oral, dan juga menanyakan kepada tim medis obat pengganti untuk
klien.
- Hasil
pemeriksaan laboratorium, yang berguna untuk mengevaluasi
efek pengobatan (terapi dan non terapi). Contoh : status koagulasi pada
pembuluh darah vena, elektrolit darah (Na, K, Ca, P), level leukosit /
trombosit, serum kreatinin (fungsi ginjal), fungsi hepar (SGOT / SGPT).
- Lakukan pemeriksaan
fisik,
sebelum memberikan obat perawat perlu melakukan pengkajian dengan cepat
meliputi kemampuan klien untuk menerima obat yang diberikan, misalnya :
kemampuan menelan (PO), kondisi pembuluh darah vena (IV), sistem
gastrointestinal (peristaltik, mual, muntah), massa otot (IM), tanda-tanda
vital (TD/N/RR/S),
Intervensi
Saat dan setelah memberikan obat, yang harus perawat lakukan adalah :
- Melakukan
observasi akan efek non terapi yang timbul secara teratur
- Berkolaborasi
dengan tim medis dan farmasist untuk bersama-sama membuat strategi untuk
meminimalkan efek non terapi yang mungkin timbul pada klien.
- Memberikan
pendidikan kesehatan kepada klien terkait dengan interaksi obat dengan
obat lain yang diberikan, makanan, dan alkohol. Kebiasaan dan sifat
adiktif terhadap obat, cara melakukan pencatatan sederhana terkait
pemakaian obat mandiri, tanda dan gejala yang mungkin timbul pada reaksi
tubuh terhadap efek obat.
Dokumentasi
dan Evaluasi
Kriteria
evaluasi :
- Klien akan
memperlihatkan efek / reaksi tubuh yang minimal terhadap pengobatan.
- Klien dapat
memahami regimen / tata laksana pengobatan yang sedang dijalani.
- Nakes yang
terlibat menggunakan intervensi yang dapat mencegah masalah medikasi pada
klien.
Dokumentasi
:
- nakes melakukan
dokumentasi yang menyeluruh dan dapat diakses oleh seluruh tim yang
terlibat.
- Nakes selalu
meningkatkan pengetahuan tentang pengobatan.
Implementasi
dan Tindak Lanjut
Tindak
lanjut atau monitoring yang dapat dilakukan adalah :
- Kaji kemampuan
staf keperawatan yang terlibat dalam melakukan pengkajian tentang
pengobatan pada klien.
- Selalu lakukan
dokumentasi yang sesuai dan konsisten terkait respon klien terhadap
pengobatan.
- Berikan
perawatan yang sesuai sebagai tindak lanjut terhadap masalah kesehatan
yang mungkin timbul terkait pengobatan.
- Evaluasi selalu
sumber masalah kesehatan yang timbul pada klien yang berhubungan dengan
kebiasaan klien yang timbul setelah pengobatan dilakukan.
- Lalukan
pendidikan kesehatan untuk mendorong pemahaman dan kedisplinan klien dalam
mematuhi regimen / tata laksana pengobatan yang telah ditetapkan.
Penggunaan
Obat Dirumah
Tipe
pengobatan
Medikasi
yang diberikan secara per oral, intra vena / infuse merupakan jenis medikasi
yang dapat diberikan pada klien walaupun klien tidak berada lagi di rumah
sakit. Perawat bekerja sama dengan fasilitas kesehatan yang tersedia di
lingkungan tempat tinggal klien untuk bersama-sama mengawasi pengobatan yang
dilakukan dirumah.
Pengaturan
medikasi yang digunakan
Pengaturan
yang penting untuk dilakukan adalah membuat dosis dan jadwal pengobatan yang
sesuai dengan aktivitas klien di rumah (missal waktu tidur dan makan). Pada
beberapa klien terutama lansia, perawat harus membantu klien agar tidak lupa
untuk minum obat, misalnya dengan memisahkan dosis pada kemasan sekali pakai
atau amplop-amplop yang tersedia untuk obat selama 1 hari.
Kesalahan
pada Medikasi
Kesalahan
yang sering timbul pada regimen medikasi antara lain disebabkan oleh :
- Medikasi tidak
sesuai dengan instruksi
- Instruksi
pemberian tidak sesuai dengan kondisi klien
- Dokumentasi
pengobatan tidak dapat merefleksikan regimen pengobatan yang sedang
dilakukan sehingga menimbulkan persepsi yang salah tentang pengobatan.
- Salah dalam
memberikan dosis, tidak tepat waktu, salah cara pemberian, salah klien,
dan salah obat yang diberikan.
Mekanisme ADH dan mekanisme kerja obat
diuretic
ADH (anti diuretic hormone ) /
vasopressin
Oktapeptida yang diproduksi oleh sel
saraf dalam nukleus supraoptikus dan paraventrikularis di hypothalamus.
-
Mekanisme ADH dan mekanisme kerja obat diuretic
Osmoreseptor (di daerah nukleus
hipotalamus).
a. Osmolalitas plasma
meningkat (dehidrasi) mengakibatkan sekresi ADH me meningkat.
b. Osmolalitas plasma
menurun (hidrasi) mengakibatkan sekresi ADH me menurun.
Volume reseptor (di atrium kiri &
vena pulmonalis)
a. Volume darah me
menurun (perdarahan hebat) mengakibatkan sekresi ADH meningkat.
b. Volume darah
banyak mengkibatkan sekresi ADH ditekan.
Stress emosional or fisik.
Sekresi ADH me
a. ADH jika tdk ada
mengakibatkan diabetes insipidus (poliuri >>).
b. ADH >>
menjadikan retensi air & hiponatremia delusional.
INDIKASI OBAT
DIURETIK
Indikasi penggunaan diuretik
1. Edema yang disebabkan oleh gagal jantung, penyakit hati, dan gangguan
ginjal.
2. Non Edema seperti hipertensi, glukoma, mountain sickness, Forced diuresis
pada keracunan, gangguan asam basa, dan nefrolitiasis rekuren
5. Penggunaan klinik diuretik
1. Hipertensi
digunakan untuk mengurangi volume darah seluruhnya hingga tekanan darah
menurun. Khususnya derivate-thiazida digunakan untuk indikasi ini. Diuretic
lengkungan pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek anti hipertensinya,
maka hanya digunakan bila ada kontra indikasi pada thiazida, seperti pada
insufiensi ginjal. Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasarkan penurunan daya
tahan pembuluh perifer. Dosis yang diperlukan untuk efek antihipertensi adalah
jauh lebih rendah daripada dosis diuretic. Thiazida memperkuat efek-efek obat
hipertensi betablockers dan ACE-inhibitor sehingga sering dikombinasi dengan
thiazida. Penghetian pemberian obat thiazida pada lansia tidak boleh mendadak
karena dapat menyebabkan resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan
peningkatan tensi.Diuretik golongan Tiazid, merupakan pilihan utama step 1,
pada sebagian besar penderita.
Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat, bila ada
bahaya hipokalemia.
2. Payah jantung kronik kongestif
Diuretik golongan tiazid, digunakann bila fungsi ginjal normal.
Diuretik kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada penderita dengan
gangguan fungsi ginja.
Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat bila ada
bahaya hipokalemia.
3. Udem paru akut
Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)
4. Sindrom nefrotik
Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan spironolakton.
5. Payah ginjal akut
Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh yang
hilang harus diganti dengan hati-hati.
6. Penyakit hati kronik
spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat).
7. Udem otak
Diuretik osmotik
8. Hiperklasemia
Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
9. Batu ginjal
Diuretik tiazid
10. Diabetes insipidus
Diuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam
11. Open angle glaucoma
Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka panjang.
12. Acute angle closure glaucoma
Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan prabedah.
Untuk pemilihan obat Diuretik a yang tepat ada baiknya anda harus periksakan
diri dan konsultasi ke dokter.
6. Mekanisme kerja diuretic
Kebnyakan diuretic bekerja mengurangi reabsorbsi natrium, sehingga
pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air diperbanyak. Obat-obat
ini bekerja khusus pada tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni di:
1. Tubuli proksimal
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang dsini direabsorbsi secara
aktif untuk kurang lebih 70% antara lain ion Na dan air, begitu pula glukosa
dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka susunan
filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis
(manitol dan sorbitol) bekerja disini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga
natrium.
2. Lengkungan henle
Dibagian menaik dari henle’s loop ini kurang lebih 25% dari semua ion Cl yang
telah di filtrasi d reabsorbsi secara aktif disusun dengan reabsorbsi pasif
dari Na dan K tetapi tanpa air, hingga filtrate menjadi hipotonis, diuretika
lengkungan seperti furosemida, bumetanida, dan etakrina, bekerja terutama
disini dengan merintangi transfor Cl dan demikian reabsorbsi Na pengeluaran K
dan air juga diperbanyak.
3. Tubuli distal
Di bagian pertama, Na di reabsorbsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrate
menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon
bekerja ditempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na dan Cl sebesar 5-10%. Di
bagian kedua ion Na ditukarkan dengan ion K atau NH, proses ini dikendalikan
oleh hormone anak ginjal aldosteron. antagonis aldosteron (spironolakton) dan
zat-zat penghemat kalium (amilorida triamteren) bertitik kerja disini dengan
mengakibatkan ekskresi Na (kurang dari 5%) dan retensi K.
4. Saluran pengumpul
Hormone antidiuretik ADH (vasopressin) dan hipofisis bertitik kerja disini
dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran pengumpul.
INDIKASI
OBAT DIURETIK
Indikasi penggunaan diuretik
1. Edema yang disebabkan oleh gagal jantung, penyakit hati, dan gangguan
ginjal.
2. Non Edema seperti hipertensi, glukoma, mountain sickness, Forced diuresis
pada keracunan, gangguan asam basa, dan nefrolitiasis rekuren
5. Penggunaan klinik diuretik
1. Hipertensi
digunakan untuk mengurangi volume darah seluruhnya hingga tekanan darah
menurun. Khususnya derivate-thiazida digunakan untuk indikasi ini. Diuretic
lengkungan pada jangka panjang ternyata lebih ringan efek anti hipertensinya,
maka hanya digunakan bila ada kontra indikasi pada thiazida, seperti pada
insufiensi ginjal. Mekanisme kerjanya diperkirakan berdasarkan penurunan daya
tahan pembuluh perifer. Dosis yang diperlukan untuk efek antihipertensi adalah
jauh lebih rendah daripada dosis diuretic. Thiazida memperkuat efek-efek obat
hipertensi betablockers dan ACE-inhibitor sehingga sering dikombinasi dengan
thiazida. Penghetian pemberian obat thiazida pada lansia tidak boleh mendadak karena
dapat menyebabkan resiko timbulnya gejala kelemahan jantung dan peningkatan
tensi.Diuretik golongan Tiazid, merupakan pilihan utama step 1, pada sebagian
besar penderita.
Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat, bila ada
bahaya hipokalemia.
2. Payah jantung kronik kongestif
Diuretik golongan tiazid, digunakann bila fungsi ginjal normal.
Diuretik kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada penderita dengan
gangguan fungsi ginja.
Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau diuretik kuat bila ada
bahaya hipokalemia.
3. Udem paru akut
Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)
4. Sindrom nefrotik
Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan spironolakton.
5. Payah ginjal akut
Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh yang
hilang harus diganti dengan hati-hati.
6. Penyakit hati kronik
spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat).
7. Udem otak
Diuretik osmotik
8. Hiperklasemia
Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
9. Batu ginjal
Diuretik tiazid
10. Diabetes insipidus
Diuretik golongan tiazid disertai dengan diet rendah garam
11. Open angle glaucoma
Diuretik asetazolamid digunakan untuk jangka panjang.
12. Acute angle closure glaucoma
Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan prabedah.
Untuk pemilihan obat Diuretik a yang tepat ada baiknya anda harus periksakan
diri dan konsultasi ke dokter.
6. Mekanisme kerja diuretic
Kebnyakan diuretic bekerja mengurangi reabsorbsi natrium, sehingga
pengeluarannya lewat kemih dan demikian juga dari air diperbanyak. Obat-obat
ini bekerja khusus pada tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni di:
1. Tubuli proksimal
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang dsini direabsorbsi secara
aktif untuk kurang lebih 70% antara lain ion Na dan air, begitu pula glukosa
dan ureum. Karena reabsorbsi berlangsung secara proporsional, maka susunan
filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhadap plasma. Diuretika osmotis
(manitol dan sorbitol) bekerja disini dengan merintangi reabsorbsi air dan juga
natrium.
2. Lengkungan henle
Dibagian menaik dari henle’s loop ini kurang lebih 25% dari semua ion Cl yang
telah di filtrasi d reabsorbsi secara aktif disusun dengan reabsorbsi pasif
dari Na dan K tetapi tanpa air, hingga filtrate menjadi hipotonis, diuretika
lengkungan seperti furosemida, bumetanida, dan etakrina, bekerja terutama
disini dengan merintangi transfor Cl dan demikian reabsorbsi Na pengeluaran K
dan air juga diperbanyak.
3. Tubuli distal
Di bagian pertama, Na di reabsorbsi secara aktif pula tanpa air hingga filtrate
menjadi lebih cair dan lebih hipotonis. Senyawa thiazida dan klortalidon
bekerja ditempat ini dengan memperbanyak ekskresi Na dan Cl sebesar 5-10%. Di
bagian kedua ion Na ditukarkan dengan ion K atau NH, proses ini dikendalikan
oleh hormone anak ginjal aldosteron. antagonis aldosteron (spironolakton) dan
zat-zat penghemat kalium (amilorida triamteren) bertitik kerja disini dengan
mengakibatkan ekskresi Na (kurang dari 5%) dan retensi K.
4. Saluran pengumpul
Hormone antidiuretik ADH (vasopressin) dan hipofisis bertitik kerja disini
dengan jalan mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran
pengumpul.
Klasifikasi
diuretic
Klasifikasi diuretic
1. Diuretic osmotic
a. Sifat zat - Difiltrasi bebas
oleh glomerulus
· Tidak atau sedikit di filtrasi - Zat inert
· Resisten terhadap perubahan metabolic
2. Penghambat Karbonik
anhidrase
a. Mekanisme kerja:Menghambat
carbonic anhidrase (CA) secara nonkompetitif.
b. farmakodinamik
• di ginjal
- 99% aktivitas CA dihambat menjadi
efektif.
- Sekresi ion H oleh sel tub menurun
ok ion H & bikarb me meningkat pertukaran ion Na dengan ion H terhambat
mengkibatkan me menurun ekskresi bikarb, Na dan K via urin.
- Bertambahnya ekskresk K karena
pertukaran ion Na dengan K yang leibh aktif mengakibatkan Eksresi air me
meningkat.
• Di mata : CA dan bikarbonat banyak dalam bola mata akan dihambat oleh
asetazolamid mengakibatkan tekanan intraokuler me menurun.
c. Farmakokinetik
· Mudah di serap oleh saluran cerna.
· Cp max : 2 jam.
· Eksresi : fully di ginjal 24 jam.
3. Benzotiadiazide
a. Farmakokinetik
· Tingkatkan eksresi N,.Clair dengan hambtan
reabsorpsi elektrolit pada tubulus distal
· Hipokalemia (+) ok natreuresis dan pertukaran
ion Na oleh ion K yang lebih aktif pada tubulus distal.
· Menurunkan TD pada px HT ok diuretic dan efek
langsung pada arteriol sehingga vasodilatasi (+).
· Laju eksresi < diuertik lain ok 90% Na+
dalam filtrate di reabsopsi sebelum mencapai tempat kerja thiazide.
· Diseksresi secara aktif oleh tubulus proximal.
· Hambat ekskresi uric acid menjadi hiperurisemia
4. Diuretic hemat kalium
· mineralokortikoid
endogen paling kuat.
· reabsorpsi Na dan Cl
> di tubulus serta ekskresi K >.
· hiperaldosteronisme :
pe menurun kdr K dan alkalosis metab (reabsorpsi ion bikarbonat & sekresi
ion H >).
· sekresi aldosteron oleh
kortex adrenal me meningkat : pembedahan,takut,trauma fisik, bleeding, asupan K
meningkat, CH, gagal jantung maka akan mengakibatkan terjadinya oedema.
a) Mekanisme kerja : inhibisi kompetitif aldosteron menjadi
reabsorpsi Na & Cl di tub distal dan koligentes turun, jg ekskresi K <.
b) Farmakokinetik : 70% diserap di GIT, sirkulasi enterohepatik
(+), ikatan protein cukup tinggi
5. Diuretic kuat (loop)
· Tempat kerja : loop of
Henle ascendant.
· Obat : as etakrinat,
furosemid, bumetamid.
a) Mekanisme kerja
· Hambat reabsorpsi elektrolit (NaCl) di
loop(ansa) of Henle ascendens bag epitel tebal.
· Rute i.v : me renal blood flow tanpa pe akan
meningkat maka filtrasi glomerulus menurun sehingga Reabsorpsi cairan dan
elektrolit di tub prox me menurun.
· Tidak tingkatkan reabsorpsi Ca++ di tub distal
mengakibatkan tx hipercalsemia.
b) Farmakokinetik