Sabtu, 16 September 2017

Tipe imunitas

Imunitas bawaan ( innate immunity )
Imunitas non-spesifik selalu ditemukan pada individu sehat dan siap menghancurkan mikroba yang msuk dalam tubuh dab siap menghancurkannya. Jumlah sistim imun ini dapat ditingkatkan oleh infeksi. Disebut non-spesifik karena tidak ditujukan pada mikroba tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Sistim ini merupakan pertahanan terdepan terhadap serangan berbagai macam mikroba dan dapat memberikan respon langsung.
A. Pertahanan Fisik
  Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia, batuk, dan bersin merupakan garis pertahanan pertama terhadap agen infeksi. Kulit yang terkena luka bakar akan meningkatkan resiko terkena infeksi.
B.  Pertahanan Biokimia
  Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun ada beberapa yang dapat masuk lewet kelenjar sebaseus dan folikel rambut.
Lisozim dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu, melindungi tubuh terhadap  berbagai macan kuman gram positif dengan menghancurkan lapisan peptidoglikan dari dinding bakteri.
 Laktooksidase dan Asam Neuraminik yang terkandung dalam ASI     mempunyai sifat antibakterial terhadap E.coli.
 Saliva juga mengandung Laktooksidase yang merusak dinding mikroba dan     menyebabkan kebocoran sitoplasma mikroba serta mengandung antibodi da komplemen yang dapat berfungsi sebagai opsonin dalam lisis sel mikroba.
Asam Hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegan infeksi berbagai macam mikroba.
 Laktoferin dan Transferin dalam serum dapat mengikat besi yang merupakan esensial untuk hidup beberapa jenis mikroba.
C.  Pertahanan Humoral
           Sistem imun non-spesifik menggunakan berbagai molekul larut. Molekul larut tertentu diproduksi di tempat infeksi. Molekul tersebut antara lain peptida antimikroba seperti defensin, katelesidin dan IFN(interferon) dengan efek antiviral. Faktor lainnya diproduksi di tempat yang lebih jauh.
1.Komplemen
        Komplemen berperan dalam pertahanan humoral. Komplemen bekerjasana dengan antibodi dalam serum normal untuk menghancurkan beberapa bakteri gram negatif. Komplemen rusak pada pemanasan 560C selama 30 menit.
        Komplemen terdiri atas sejumlan besar protein yang bila diaktifkan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi.
        Komplemen diproduksi oleh hepatosit dan monosit dan dapat secara langsung diaktofkan oleh mikroba atau prouknya. Komplemen berperan sebagai opsonin yang meingkatkan fogositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.
        Antibodi dengan bantuan komplemen dapat menghancurkan membran LPS(lipopolisakarida) dari bakteri. Bila LPS menjadi lemag maka Lisozim, mukopeptida dalam serum dapat menembus membran bakteri.
2. APP (Acute Phase Protein)
         Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan kadar beberapa protein dalam serum yang disebut APP yang akhir ini merupakan bahan anti mikrobial dalam serum yang meningkat dengan cepat setelah sistem imun nonspesifik diaktifkan. Protein yang meningkat atau menurun selama fase akut juga disebut sebagai APRP(Acute Phase Response Protein) yang berperan dalam pertahanan dini.
a.       C-Reactive Protein
         CRP yang merupakan salah satu APP termasuk golongan protein yang kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respon imunitas non-spesifik. Sebagai Opsonin CRP mengikat berbagai mikro organisme. Pengukuran CRP digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau lebih dan berperan dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul seperti fosfoilkolin yang ditemukan pada permukan bakteri/jamur. Sintesis CRP meninggat meninggikan viskositas plasma dan laju endap darah. Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukan infeksi yang persisten.
b.      Lektin
         Lektin/kolektin merupakan molekul larut dalam plasma yang dapat mengikat manosa dalam polidsakarida yang merupakan permukaan banyak bakteri seperti galur pneumokok dan banyak mikroba, tetapi tidak pada sel vertebrata.
c.       APP lain
         APP lain adalah alpha1-antitripsin, amiloid serum A, haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen juga berperan pada peningkatan laju endap darah akibat infeksi, namun dibentuk jauh lebih lambat dibaning dengan CRP. Secara keseluruhan, respon fase akut memberikan efek yang menguntungkan melalui penningkatan resistensi penjamu, mengurangi cidera jaringan, dan meningkatkan resolusi dan perbaikan cidera inflamasi.
3.      Mediator Asal Lipid
             Metebolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG(prostaglandin) dan LTR(leukotrin). Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi.
4.      Sitokin IL-1, IL-6, TNF-alpha
               Selama terjadi infeksi, produk bakteri seperti LPS mangaktifkan makrofag dan sel lain untuk memproduksi dan melepas berbagai sitokin seperti IL-1 yang merupakan pirogen endogen, TNF-alpha dan IL-6. pirogen adalah bahan yang menginduksi demam yang dipacu baik oleh faktor eksogen(endotoksib asal bakteri gram negatif) atau endogen seperti IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit. Ketiga sitokin tersebut disebut sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk mensintesis dan melepas sejumlah protein plasma seperti APP antara lain CRP yang dapat maningkat 1000 kali, MBL(Manan Binding Lectin) dan SAP(Serum Amyloid Protein).
B.     Pertahanan Selular
              Fagosit, sel NK, sel Mast berperan dalam sistem imun non-spesifik selular. Sel-sel sistem imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaingan. Contoh sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinoil, basofil monosit, sel T, sel B, sel NK, SDM dan platelet. Sel-sel tersebut dapat mengenal produk mikroba esensial yang diperlukan untuk hidupnya.
Adaptive Immunity dan ciri – ciri adaptive immunity
1.     Limfosit T
Produksi Limfosit T
·         Respon imun seluler adalah respon untuk melawan mikroorganisme intraseluler.
·         Fungsi ini dijalankan oleh limfosit T. Limfosit T diproduksi pada bone marrow dan fetal liver.
ø  Mengalami maturasi pada timus. Sel epitel pada timus mengeluarkan hormon yang penting dalam maturasi sel T.
ø  Setelah mengalami maturasi, sel T dilepaskan lewat sirkulasi menuju jaringan limfatik dan organ-organ limfatikus lainnya.
 Dalam imunitas seluler peran sel T dapat dibagi menjadi dua fungsi yaitu fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh sel T, sel T penolong atau dikenal sebagai sel CD4. Sel CD4 mengeluarkan molekul yang dinamakan sitokin (molekul berberat  molekul rendah yang diekskresikan oleh sel-sel sistem imun untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin yang dikeluarkan oleh sel CD4 mengendalikan proses-proses imun seperti pembentukan imunoglobulin oleh sel B,pengaktifan sel T lain dan pengaktifan makrofage.
Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik atau sel T pembunuh atau lebih lazim dinamakan sel CD8. Sel ini dapat mematikan sel yang terinfeksi virus , sel tumor, dan jaringan transplantasi dengan menyuntikan zat kimia dengan mengeluarkan zat yang dinamakan perforin.
Leukosit dan sel-sel lain menghasilkan protein larut atau glikoprotein yang dipanggil sitokin (cytokines) yang berfungsi sebagai pengutus kimia (chemical messengers) antara sel. Fungsi utama sitokin ialah terlibat dalam kawalaturan perkembangan dan kelakuan sel-sel yang terlibat dalam gerak balas imun. Lazimnya sitokin dirembeskan tetapi ada juga yang diekspres pada permukaan sel atau tersimpan dalam matriks luar sel. Sitokin bergabung dengan sel sasaran melalui reseptor permukaan yang berhubung dengan tapak jalan transduksi isyarat intrasel. Sitokin merupakan protein sistem imun yang bertindak sebagai pengubahsuai respons biologi (biological response modifiers). Protein-protein ini mengkoordinasi interaksi antara sel-sel dalam sistem imun. Sitokin termasuk monokin (dihasilkan oleh makrofaj, seperti interleukin-1, faktor nekrosis tumor, interferon a dan b) dan limfokin (dihasilkan oleh sel T teraktif dan sel NK, seperti interleukin 2-6, interferon g, limfotoksin). Sel-sel endotelium dan fibroblas serta beberapa jenis lain juga mungkin menghasilkan sitokin.
Baik sel CD4 maupun sel CD8 menjalani pendidikan di timus untuk belajar mengenai fungsinya masing-masing.Sel-sel CD4 terutama terbanyak terdapat di medula timus, tonsil dan darah. Sel CD4 mempunyai 4 fungsi utama yaitu : sel CD4 memiliki fungsi regulatorik, yang mengaitkan sistem monosit-makrofag ke sistem limfoid; berinteraksi dengan APC untuk mengendalikaan pementukan imunoglobulin; menghasilkan sitokin yang memungkinkan sel CD4 dan CD8 tumbuh; berkembang menjadi sel pengingat (memory). Saat Sel-sel CD 4 berinteraksi dengan APC , sel CD4 mengeluarkan interferon gamma yang fungsinya menarik makrofag lain ke lokasi, mengaktifkan makrofag tersebut dan memperkuat reaksi  jaringan terhadap antigen.
 Fungsi efektor sel CD8, ditemukan terutama di sumsum tulang dan GALT. Sel CD8 melakukan dua fungsi efektor utama yaitu hipersensitifitas tipe lambat dan sitotoksisitas. Hipersensitifitas tipe lambat terjadi saat imunogen organisme intrasel seperti fungus atau mikrobakteri menimbulkan suatu respon alergi.
Sitotoksisitas berperan dalam  menhancurkan sel yang terinfeksi oleh virus, penolakan cangkokan dan destruksi sel tumor. Semua sel di dalam tubuh memiliki salah satu antigen yaitu MHC 1 dimana sel CD8 dapat mengenali kompleks MHC-epitop, selanjutnya sel CD8 mengeluarkan perforin (zat kimia toksik yang mampu membran luar suatu sel yang terinfeksi) dan granzymes (enzim protease). Perforin membentuk sebuah lubah seperti pori-pori di membran sel yang terinfeksi sehingga cairan ekstrasel dapat masuk kedalam sel kemudian DNA mengalami penguraian dan memicu terjadinya apoptosis. 
Secara singkat imunitas selular memiliki fungsi sebagai berikut :
·         Sel CD8 memiliki fungsi sitotoksik. Sel CD8 menyebabkan kematian langsung sel sasaran seperti sel yang terinfeksi oleh virus.
·         Sel T juga menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe lambat saat menghasilkan berbagai limfokin yang menyebabkan reaksi peradangan. Limfokin tidak saja memengaruhi jaringan secara langsung tetapi mengaktifkan sel lain seperti APC.
·         Sel T memiliki kemampuan untuk mengingat. Sel T pengingat memungkinkan akselarasi respon imun apabila tubuh terpajan untuk kedua kalinya ke imunogen yang sama walaupun dalam interval yang lama dari pajanan awal
·         Sel T juga  memilikiperan penting dalam regulasi atau pengendalian. Sel CD4 dan sel CD8 meningkatkan atau menekan respon imun seluler dan humoral.
         Proses imunitas spesifik di pengaruhi juga oleh epitop. Epitop merupakandeterminan antigen yang dimiliki imunogen (segala sesuatu yamg menyebabkan respon imun) yaitu bentuk molekul yang dikenali oleh antibodi dan reseptor. Inilah yang membuat antibodi atau T-cell receptor (T-CR) tidak bereaksi dengan keseluruhan molekul tetapi hanya pada bagian tertentu dari molekul.
APC atau antigen precenting cell bekerja untuk mengenalkan antigen dengan antibodi. Sel T akan berespon terhadap antigen jika antigen berikatan dengan molekul spesifik yaitu MHC (mayor histokompatibilitas kompleks) pada permukaan sel yang menampilkan antigen (APC). Termasuk APC yaitu makrofag, Limfosit B dan sel dendritik.
           Adapun respon imun itu di bedakan menjadi respon primer dan sekunder. Hal ini terkait dengan sifat memori yang dimiliki. Respon primer merupakan respon awal pertama kali saat antigen masuk. Reaksi respon dari tubuh akan lambat. Sedangkan respon sekunder merupakan reaksi atau respon selanjutnya terhadap antigen. Respon yang diberikan cepat dan besar. Karena pada respon primer telah terjadi pengenalan dan pengaktifan sistem memori sehingga ketika terjadi penyerangan lagi akan menghasilkan reaksi yang cepat.
 Mikroorganisme intraseluler sulit dijangkau oleh antibodi, mikroorganisme ini antara lain virus dan mikroba intraseluler seperti M-tuberkulosa yang hidup dalam makrofag
 Respon imun seluler adalah respon untuk melawan mikroorganisme intraseluler
 Fungsi ini dijalankan oleh limfosit T. Limfosit T diproduksi pada bone marrow dan fetal liver.
ø  Mengalami maturasi pada timus. Sel epitel pada timus mengeluarkan hormone yang penting dalam maturasi sel T.
ø  Setelah mengalami maturasi, sel T dilepaskan lewat sirkulasi menuju jaringan limfatik dan organ-organ limfatikus lainnya.
 Imunitas selular meliputi empat kelas dari sel T
ø   sel T sitotoksin (TC) merupakan efektor dari imunitas selular yang mengeluarkan serangan pada agen asing. Disebut juga sel T pembunuh, tapi tidak sama dengan NK sel.
ø  sel T helper (TH) meningkatkan aksi dari sel TC dan berperan serta dalam  imunitas selular dan sistem imun nonspesifik.
ø  sel T supressor (TS) membatasi dan menjaga sistem imun agar tidak lepas kendali.
ø  sel T memori, beertanggung jawab atas memori dalam sistem imun selular.
 Dua cara perlawanan :
ø  Sistem efektor ekstraseluler; Sel terinfeksi akan dibunuh, misalnya oleh sel T sitotoksik
ø  Pengaktivasian sel terinfeksi, agar mampu membunuh mikroorganisme yang menginfeksinya.
 Respon imun seluler juga merupakan mekanisme utama pertahanan tubuh terhadap tumor
 Makrofag yang distimulasi limfokin efektif memfagosit protooa intraseluler seperti Trypanosoma cruzy, Leishmania donovani, Toxoplasma gondii, Plasmodium sp., serta cacing (cacing filaria dan skistosoma)
 Sel T sitotoksik secara langsung dapat menghancurkan sel dan fibroblas jantung yang terinfeksi T. cruzy
 Sel T bereaksi terhadap antigen yang dilepaskan secara lokal oleh cacing atau telurnya kemudian mengisolasinya dengan pembentukan granuloma.
  1. Reseptor Limfosit T, merupakan protein heterodimerik transmembran yang tersusun atas dua rantai yang dihubungkan oleh ikatan disulfida.
Terdapat dua kelas reseptor yang berbeda.
ø  α dan β. Sel T αβ membentuk fenotip sel T yang dminan dan dibagi menurut ekspresinya pada penanda permukaan sel lainnya, protein tersebut disebut CD4 dan CD8 yang menurut kelas fungsionalnya, masing-masing merupakan sel T helper dan sitotoksik.
ø  γ dan δ, sel T yang mengekspresikan γδ relatif jarang dijumpai pada manusia.
ø  Protein reseptor sel T mempunyai variabel dan konstan yang mirip dengan antibodi.
ø  Pada semua sel T fungsional yang spesifik antigen, dua rantai reseptor sel T secara nonkovalen berhubungan dengan enam rantai polipeptida lainnya yang tesusun atas lima protein ynag berbeda, ynag membentuk kompleks CD3 untuk transduksi sinyal yang diterima oleh reseptor sel T dalam pengenalan antigen yang masuk ke dalam sel (protein transmembran) yang menyebabkan transkripsi gen, aktivasi sel, dan inisiasi aktivasi fungsional sel T.
  1. Sitokin
Cytokine merupakan peptida yang disekresi oleh sel ke dalam cairan ekstrasel dan dapat berfungsi sebagai autokrin, parakrin atau hormon endokrin. Cytokine contohnya adalah interleukin dan limfokin yang disekresi sel T helper.
           Cytokine disekresi oleh leukosit,makrofag, sel mast, dan beberapa tipe sel lainnya yang menjadi mediator pertahanan imun dan non spesifik tubuh. Cytokine meliputi interferon, faktor kemotaktik, faktor pertumbuhan, interleukin, tumor necrosis factor, dan zat kimia lainnya.
ø  sitokin merupakan molekul sinyal yang dilepaskan dari satu sel dan berikatan dengan reseptor pad sel tetangganya (interleukin, TNF, IFN)
ø  sitokin dilepaskan oleh sel T untuk menstimulasi sel B
Ï  berproliferasi
Ï  mensintesis dan mensekresi antibodi
Ï  berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan mensekresi antibodi
Ï  menggantikan kelas antibodi yang sedang diproduksi.
1.     Limfosit B
Limfosit yang berasal dari sumsum tulang, atau “B”, terdiri atas 10% hingga 20% dari populasi limfosit perifer yang beredar dalam sirkulasi. Sel ini terdapat pula dalam sumsum tulang, jaringan limfoid perifer (kelenjar getah bening, limpa, dan tonsil), serta dalam organ nonlimfoid, seperti traktus gastrointestinal. Sel B terletak di dalam korteks kelenjar getah bening  dan pulpa  putih limpa. Stimulasi menyebabkan pembentukan zona sentral  sel B yang diaktifasi dan besar dalam folikel, yang disebut sentrum germinativum.
Setelah stimulasi sel B membentuk sel plasma yang mensekresi imunoglobulin , yang selanjutnya  menjadi mediator imunitas humoral. Terdapat lima isotope imunoglobulin dasar; 95% antibody dalam sirkulasi merupakan IgG, IgM, serta IgA, dan peranan IgE dan IgD relative minimal. Setiap isotipe mempunyai kemampuan khusus untuk mengaktivasi komplemen atau merekrut sel  radang, serta mempunyai peranan yang jelas; misalnya  IgA merupakan mediator penting pada imunitas mukosa, sedangkan IgE mempunyai kepentingan khusus untuk infeksi cacing (dan dalam respons elegri).
Sel B mengenali antigen melalui permukaan monomerik IgM, yang disebut dengan reseptor sel B (BCR). Sewperti pada sel T, setiap BCR mempunyai  spesifisitas antigen yang unik , yang sebagian besar berasal dari penyusunan ulang somatic pada gen imunoglobin. Oleh karena itu, terdapatnya gen imunoglobin yang telah disusun ulang dalam suatu sel limfoid digunakan sebagai suatu penanda molekuler sel yang merupakan jalur keturunan B; penyusun ulang semacam itu dapat pula digunakan untuk mengidentifikasi proliferasi sel-B poliklonal (nonneoplastik) atau monoclonal (neoplastik). Sejalan dengan kompleks TCR-CD3, BCR berinteraksi dengan beberapa molekul serupa yang bertanggung jawab untuk transduksi sinyal  dan untuk melengkapi aktivitas sel-B. satu contohnya adalah molekul sel-B CD40 yang berikatan dengan CD154 pada sel T teraktivasi dan molekul tersebut sangat penting untuk pematangan sel-B dan  sekresi antibody IgG,IgA, atau IgE. Para pasien dengan mutasi CD154 terutama menghasilkan IgM dan menderita imunodefisiensi yang disebut dengan sindrom hiper IgM X-linked. Molekul kostimulator penting lainnya yang terkait sel-B adalah CD21 (juga dikenal reseptor komplemen CR2); molekul ini juga merupakan reseptor yang menyebabkan virus Epstein-Barr (EBV) dapat mencapai sel B manusia.
Sel B mempunyai 2 fungsi penting, yaitu:
1.      berdiferensiasi menjadi sel plasma dan menghasilkan antibodi.
2.      berfungsi sebagai sel penyaji antigen (Antigen Preenting Cells, APC).
Pembentukan limfosit B
Limfosit B diolah lebih dahulu di hati selama pertengahan kehidupan  janin, dan sumsum tulang selama masa akhir janin dan setelah lahir.
Limfosit B berbeda dengan limfosit T, dalam dua hal ; pertama, berbeda dengan seluruh sel yang membentuk reaktivitas terhadap antigen, seperti yang terjadi pada limfosit T, maka limfosit B secara aktif menyekresikan antibody yang merupakan bahan reaktif. Bahan ini merupakan molekul protein yang besar yang mampu berkombinasi dengan dan menghancurkan bahan antigenic. Kedua, limfosit B bahkan memiliki lebih banyak keanekaragaman daripada limfosit T, jadi membentuk banyak sekali smapai berjuta- juta dan bahkan bermiliar- miliar – antibody tipe limfosit B dengan berbagai rektivitas yang spesifik.
Setelah diolah lebih dahulu, limfosit B, seperti juga limfosit T, bermigrasi ke jaringan limfoid di seluruh tubuh dimana mereka menempati daerah yang sedikit lebih kecil daripada limfosit-T.
Pada saat embriogenesis, cikal bakal sel B pertama kali ditemukan di hepar janin.
Dari hepar, sel-sel tersebut bermigrasi ke sumsum tulang untuk menetap seterusnya.
Maturasi sel B melewati 2 fase, yaitu:
1.      Fase tidak tergantung antigen yang terdiri dari perubahan sel-sel induk menjadi sel pre-B dan sel-sel B
2.      Fase tergantung antigen yang meliputi perubahan-perubahan yang terjadi akibat interaksi antigen dengan sel B, yaitu menjadi sel B yang teraktivasi dan sel plasma.
ø  Pada sel B didapatkan Ig M permukaan yang berfungsi sebagai reseptor antigen.
ø  Sel B meliputi sekitar 30 % dari semua limfosit kecil dalam sirkulasi.
ø  Sel B juga dapat ditemukan di germinal centers limfonodi atau pulpa putih lien, juga didapatkan pada jaringan limfoid yang berhubungan dengan saluran pencernaan, misalnya Peyer’s patches.
  Menjelaskan sistem komplemen serta jalur dari sistem komplemen
Ø  Pengertian
Komplemen merupakan sistem yang terdiri atas sejumlah protein yang berperan dalam pertahanan pejamu, baik dalam sistem imun nonspesifik maupun sistem imun spesifik. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim serum yang berfungsi dalam inflamasi, opsonisasi dan kerusakan (lisis) membran patogen. Dewasa ini diketahui sekitar 20 jenis protein yang berperan dalam sistem komplemen.
Komplemen merupakan molekul larut sistem imun nonspesifik dalam keadaan tidak aktif yang dapat diaktifkan berbagai bahan seperti LPS (Lipopolisakarida) bakteri. Komplemen juga dapat berperan dalam sistem imun spesifik yang setiap waktu dapat diaktifkan kompleks imun. Hasil aktivasi tersebut menghasilkan berbagai mediator yang mempunyai sifat biologik aktif dan beberapa diantaranya merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Aktivasi komplemen merupakan usaha tubuh menghancurkan antigen asing, namun sering pula menimbulkan kerusakan jaringan sehingga merugikan tubuh sendiri.
Aktivasi komplemen menghasilkan sejumlah molekul efektor yang mempunyai efek biologik dan peran dasar pada:
§  Lisis sel, bakteri dan virus.
§  Opsonisasi yang meningkatkan fagositosis partikel antigen.
§  Mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel sisitem imun sehingga memacu fungsi sel spesifik, inflamasi dan sekresi molekul imunoregulatori.
Ø  Aktivasi Komplemen
Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui 3 jalur, yaitu jalur lektin, jalur klasik, dan jalur alternatif.
1.      Jalur klasik
Aktivasi komplemen melalui jalur klasik dimulai dengan dibentuknya kompleks antigen-antibodi larut atau dengan ikatan antibodi dan antigen pada sasaran cocok, seperti sel bakteri. Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1 yang dicetuskan oleh kompleks imun antibody dan antigen.
2.      Jalur Alternatif
         Aktivasi jalur alternatif memproduksi produk aktif seperti halnya dengan jalur klasik, tetapi untuk awal reaksi tidak diperlukan kompleks antigen-antibodi. Aktivasi jalur alternatif dimulai dengan C3 yang merupakan moleku tidak stabil dan terus menerus ada dalam aktivasi spontan derajat rendah dan klinis yang tidak berarti. Aktivasi spontan C3 diduga terjadi pada permukaan sel, meskipun sel normal mengekspresikan inhibitor permukaan yang mencegah aktivasi C3.
3.      Jalur Lektin
Lektin adalah protein larut yang mengenal dan mengikat residu manosa dari hidrat arang yang merupakan bagian dinding sel mikroba. Oleh karena itu jalur lektin disebut jalur MBL (Mannan Binding Lectin) atau jalur ikatan mannan. Lektin adalah golongan famili kolektin, yang merupakan protein fase akut dan kadarnya meningkat pada respons inflamasi. Aktivasi jalur lektin diawalai oleh terjadinya ikatan antara polisakarida mikroba dengan lektin dalam sirkulasi.
 Menjelaskan organ beserta fungsinya masing – masing
Sejumlah organ limfoid dan jaringan limfoid yang morfologis dan fungsinoal berlainan berperan dalam respon imun. Organ limfoid tersebut dapat dibagi menjadi organ primer (sentral) dan organ limfoid sekunder (perifer). Timus dan sumsum tulang merupakan organ primer yang merupakan organ limfoid tempat pematangan limfosit.
1.      Organ Limfoid Primer atau Sentral
*      Sumsum Tulang (Bone Marrow)
     Sumsum tulang atau bone marrow ini terletak dalam cavum medullare tulang panjang dan substansinya spongiosa semua tulang.
     Fungsi dari sumsum tulang :
-          Sebagai tempat hematopoesis
-          Dalam system imun sebagai tempat pembentukan dan pematangan sel limfosit B dan T
-          Untuk imunitas
*      Thymus
     Timus merupakan organ limfoepitelial yang terletak di mediastinum. Jika dilihat secara mikroskopik, timus ini terdiri atas 2 bagian, yaitu : cortex dan medulla. Pada cortex, populasi sejumlah besarnya yaitu terdapat limfosit khususnya limfosit T. sedangkan pada medulla terdapat : limfosit, eosinofil, myeloblast, pembuluh darah dan Hassall`s body. Dimana Hassall`s body ini merupakan kelompokkan konsestris sel epitel yang berdegradasi.
Adapun fungsi dari Timus, yaitu :
-          Terdapat pada badan Hassall
-          Membantu dalam pembentukan limfosit
-          Berfungsi dalam pematangan sel T
-          Mengandung sel induk diferensiasi sel mast, dll.
2.     Organ Limfoid Sekunder atau Perifer
            Pada organ limfoid sekunder, limpa dan kelenjar getah bening merupakan organ yang terorganisasi tinggi. Sedangkan jaringan limfoid yang kurang terorganisasi secara kolektif disebut MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissu) yang banyak ditemukan di beberapa tempat di dalam tubuh, yang meliputi jaringan limfoid ekstranodul yang berhubungan dengan mukosa diberbagai lokasi, seperti : SALT di kulit, BALT di bronkus, GALT di saluran cerna (meliputi Plak Peyerdi usus kecil, apendiks, berbagai folikel limfoid dalam lamina propria usus), mukosa hidung, tonsil, mame, serviks uterus, membrane mukosa saluran napas atas, bronkus dan saluran kemih. 
*      Limpa atau Lien (Spleen)
     Limpa merupakan organ limfoid terbesar di dalam tubuh. Karena didalamnya banyak terdapat sel fagositik dan kontak sel-sel ini yang erat dengan darah, limpa menjadi pertahanan penting terhadap mikroorganisme yang berhasil memasuki peredaran darah.
Fungsi :
-          menjadi pertahanan penting terhadap mikroorganisme yang berhasil memasuki peredaran darah atau dapat menyaring darah
-          menbentuk limfosit
-          membentuk antibody
-          menjadi tempat penghancuran eritrosit tua
-          sebagai organ pembentuk-antibodi
*      Limfonodus (Nodus Limfatikus)atau Kelenjar Getah Bening
     Limfonodus merupakan organ berbentuk ginjal/lonjong dan bersimpai yang terdiri atas jaringan limfoid yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang pembuluh limfe. Kelenjar getah bening ini banyak ditemukan di ketiak, lipat paha, sepanjang pembuluh besar di leher, dan serta banyak dijumpai di toraks dan abdomen, khususnya pada mesenterium.
Fungsi :
-          Sebagai tempat filtrasi limpa
-          Proses fagositosis oleh makrofag
-          Memproduksi antibody sebagai aktifitas limfosit B
*      Tonsil
     Tonsil merupakan organ yang terdiri atas agregat jaringan limfoid bersimpai tak utuh, yang terdapat di bawah, dan berkontak dengan epitel bagian awal saluran cerna. Adapun fungsi tonsil secara umum yaitu untuk mekanisme pertahanan tubuh saluran napas bagian atas.
     Dilihat dari lokasinya, tonsil dapat dibedakan menjadi 3 macam :
1.      Tonsila Lingualis
           Tonsila lingualis ini lebih kecil dan lebih banyak daripada tonsila palatina atau faringea. Tonsil ini terletak di bawah lidah dan ditutupi epitel berlapis gepeng. Pada setiap tonsila ini memiliki satu kriptus.
2.      Tonsila Palatina
           Tonsila ini terletak di dinding lateral faring. Di bawah epitel berlapis gepeng, jaringan limfoid padat pada tonsil membentuk pita yang mengandung nodul limfoid, umumnya dengan pusat germinal. Setiap tonsil memiliki 10-20 invaginasi epitel yang masuk jauh ke dalam parenkim, yang membentuk kriptus. Kriptus terlihat sebagai bintik-bintik purulen pada tonsillitis. Jaringan limfoidnya dipisahkan dari struktur dibawahnya oleh suatu pita jaringan ikat padat disebut simpai tonsil yang biasanya bekerja sebagai sawar terhadap penyebaran infeksi tonsil.
3.      Tonsila Faringea
           Tonsila faringea merupakan tonsil tunggal yang terdapat di bagian postero-superior faring dan ditutupi oleh epitel bertingkat silindris bersilia, yang khas untuk epitel saluran pernapasan, dan daerah epitel berlapis.
           Tonsila ini terdiri atas lipatan mukosa dan mengandung jaringan limfoid difus dan nodule, tidak memiliki kriptus dan simpainya lebih tipis daripada sipai tonsila palatine.
 Menjelaskan Fungsi imunitas serta faktor – faktor yang memengaruhi imunitas
1.      Melindungi tubuh dari benda asing
Agen penyait infeksi biasanya masukke dalam tubuh melalui kulit atau membran mukosa, seperti permukaan epitel nasofaring , paru-paru, usus, dan saluran genito-urinaria. Rintangan mekanis kulit dan mukosa utuh pada tempat-tempattersebut akan mencegah masuknya organisme ke dalam tubuh. Kebanyakan bakteri gagal bertahan hidup lama pada kulit karena pengaruh hambatan langsung asam laktatdan asam lemakdalam keringat dan sekresi sebasea, serta pH rendah yang dihasilkan. Berbagai pertahan fisik dan biokimia melindungi permukaan mukosa . Misalnya, lisozim, suatu enzim yang ada di dalam berbagai sekresi dan mampu memecah peptidoglikan yang melekat pada dinding sel-sel beberapa bakteri. Mukus yang disekresi oleh membran mukosamemblokade perlekatan bakteri dan virus pada sel epitel. Mikroba dan  partikel lain akan terperangkap dalam mukus yang adesif dan dibuang secari mekanis, seperti oleh gerakan silia, batuk dan bersin. Daya sensor air mata, ludah dan urin juga bersifat protektif.
Suatu organisme yang mampu menembus permukaan epitel yang ada dikulit maupun permukaan mukosa akan dinemui temui oleh sel fagosit yang banyak tersebar disepanjang tempat masuknya organisme. Ada dua tipe fagosit utama , yaitu :
1). Neutrofil polimonuklear yang memberikan pertahanan utam terhadap infeksi bakteri piogen
2). Monosit/makrofag yang aktif terhadap bakteri, virus, dan parasit intraselular.
Fagosit melekat pada mikroba melalui beberapa mekanisme pengenalan primitif. Selanjutnya, fagosit menelan dan membunuh mikroba tersebut degan pembentukan enzim litik dan radikal yang memeatikan, seperti anion superoksida, hidrogen peroksida,  oksigen singlet dan radikl hidroksil. Fagosit juga mempunyai reseptorterhadap ujung karboksil molekul antibodi (Reseptor Fc) dan terhadap fragmen komplemen C3b (Reseptor C3b) yang membantu menunjukannya kepada mikroorganisme yang diselubungi antibodi atau komplemen.
2.      Sebagai perahanan terhadap infeksi
Reaksi tubuh terhdap invasi infeksi  diperlihatkan dengan adanya inflamasi. Pada inflamasi terjadi migrasi sel dan kebocoran molekul-molekul serum ke tempat inflamasi . Kejadian ini dikendalikan oleh (1) Peningkatan pasokan darah ke lokasi inflamasi, dan (2) peningkatan permeabilitas kapiler yang disebabkan oleh retraksi sel-sel endotel. Kejdian ini memungkinkan molekul-molekul  besar seperti antibodi, komlemen, dan sistem enzim plasma lain melewati endotel untuk mncapai lokasi inflamasi .
Timbulnya reaksi inflamasi dikendalikan oleh sitokin. Sistem enzim plasma. Dan mediator vasoaktif. Jenis mediator vasoaktif yang terlibat dalam inflamasi tergantung pada jenis inflamasinya . mediator kerja-cepat, seperti amin vasoaktif dan produk sistem kinin memodulasi respon segera, sedangkan mediator yang baru disintesis kemudian , seperti leukotrin, berperan untuk akumulasi dan aktivitas sel. Leukosit yang telah mencapai lokasi inflamasi akan melepas mediator yang akan mengatur akumulasi dan aktivasi sel-sel lainnya.
Ada empat sistem enzim plasma yang berpean pada reaksi radang yaitu :
1.      Sistem penjendalan (coagulation) darah
2.      Sistem fibrinolitik (plasmin)
3.      Sistem kinin
4.      Sistem komplemen
Sistem komplemen terutama berfungsi sebagai penghubung antara reaksi radang dan reaksi imunologis spesifik selanjutnya. Sistem kinin melepas mediator bradikinin dan lisil-bradikinin (kalidin). Bradikinin adalah molekul vasoaktif yang sangat kuat  dan mampu menimbulkan dilatasi venul, peningkatan permeabilitas kapiler dan kontraksi otot polos. Bradikinin dihasilkan pasca aktipasi faktor hageman (XII) sistem penjendalan darah, sedangkan kalidin dihasilkan pasca-aktivasi sistem plasmin atau dari enzim yang dilepadkan oleh jaringan yang rusak.
Pada awal reaksi radang, IL-1 dan IL-6dilepaskan oleh sel-sel jaringan tempat inflamasi. Setelah limfosit dan sel-sel mononuklear berada dilokasi inflamasi dan diaktivasi oleh antigen, sel-sel tersebut akan melepas sitokin-sitokinnya (IL-1, TNF, IL-4, IFNy). Sitokin-sitokin tersebut akan meningkatka migrasi  seluler dengan mempengaruhi endotel setempat. Sitokin lain seperti IL-8, bersifat khemotaktik serta bekerja menginfasi sel-sel yang berdatangan .
Pada reaksi radang, ada beberapa sel lain seperti sel mast, basofil, dan trombosit, yang ikut berperan. Sel-sel tersebut merupakan sumber penting mediator vasoaktif histamin dan serotonin yang mengakibatkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Sel mast juga merupakan sumber penting mediator inflamasi yang bekerja lambat, seperti leukotrin, prostaglandin dan tromboksan. Trombosit dapat diaktifkan oleh kompleks imun atau oleh faktor pengaktif (platelet activating factor, PAF) yang dihasilkan oleh neutrofil, basofil dan makrofag. Hal ini penting pada reaksi hipersensitifitas tipe II dan tipe III.
3.      Homeostasis
Kita tidak akan bertahan hidup melawan awal masa bayi apabila kita tidak memiliki mekanisme-mekanisme pertahanan tubuh. Mekanisme-mekanisme ini menahan dan mengeliminasi benda-benda asing yang potensial berbahaya, yang dengannya kita terus menerus berkontak di lingkungan eksternal yang tidak ramah ini. Mekanisme tersebut juga menghancurkan sel-sel abnormal yang sering muncul didalam tubuh. Homeostasis dapat secara secara optimal dipertahankan (dan dengan demikian, hidup dapat dipertahankan), hanya jika sel-sel tidak mengalami cedra fisik atau terganggu fungsinya oleh mikroorganisme patogenik atau tidak diganti oleh sel-sel yang berfungsi abnormal, misalnya sel-sel yang mengalami trauma atau sel-sel kanker . sistem pertahanan imun, yaitu jaringan interaktif-kompleks-beraneka segi dari leukosit, produk-produk sekretoriknya, dan protein plasma, berperan secara tidak langsung bagi homeostasis dengan menjaga agar sel-sel tetap hidu, sehingga mereka dapat melaksanakan fungsi khusus mereka untuk mempertahankan lingkungan internal yang stabil. Sistem imun melindungi sel-sel tubuh, mengeliminasi sel-sel kangker yang baru tumbuh, dan membersihkan sel yang cedra atau mati untuk diganti oleh sel  baru yang sehat. Kulit berperan secara tidak angsung pada homeostasis dengan berfungsi sebagai sawar protektif antara lingkungan eksternal dan sel-sel tubuh lainnya . kulit membantu mencegah bahan asing  yang berbahaya, misalnya patogen atau zat kimia toksik, masik ke dalam tubuh membantu mencegah hilangnya cairan tubuh. Kulit juga berperan secara langsung bagi homeostasis dengan membantu mempertahankan suhu tubuh melalui kelenjar keringat dan penyesuaian aliran darah kulit. Jumlah panas yang dibawa ke permukaan tubuh untuk disalurkan ke permukaan eksternal ditentukan oleh volume darah hangat yang mengalit ke kulit.
Sistem lain yang memiliki rongga internal yang berhubungan dengan lingkungan eksternal, misalnya sistem pencernaan, genitourinaria, dan pernafasan juga memiliki pertahanan untuk mencegah agen (bahan) eksternal berbahaya masuk ke dalam tubuh melalui rute-rute tersebut.
       Menjelaskan mekanisme pertahanan pertahanan tubuh berkaitan dengan inflamasi
Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel. Inflamasi melaksanakan tugas pertahanannya dengan mengencerkan, menghancurkan dan menetralkan agen berbahaya (misalnya mikroba atau toksin).  Respon radang memiliki banyak pemain, yaitu sel dan protein plasma dalam sirkulasi, sel dinding pembuluh darah, dan sel matriks ekstraselular jaringan ikat di sekitarnya. Sel dalam sirkulasi adalah leukosit polimorfonuklear (PMN) yang berasal dari sum – sum tulang (neutrofil), eosinofil, dan basofil ; limfosit dan monosit ; serta trombosit ; protein dalam sirkulasi , meliputi faktor pembekuan, kininogen, dan komponen komplemen yang sebagian besar disintesis oleh hati. Sel dinding pembuluh darah meliputi sel endotel yang berkontak langsung dnegan darah, dan sel otot polos yang mendasarinya yang memberikan tonus pada pembuluh darah. Sel jaringan ikat meliputi sentinel untuk menginvasi, misalnya sel mast, makrofag, dan limfosit serta fibroblast yang menyintesis matriks ekstraselular dan dapat berproliferasi untuk mengisi luka. Matriks ekstraselular (ECM) terdiri atas protein penyusun fibrosa (misalnya kolagen dan elastin), proteoglikan yang membentuk gel, dan glikoprotein adhesive (misalnya fibronektin) yang merupakan penghubung sel-ECM dan ECM-ECM. Semuanya ini akan berinteraksi untuk mengatasi secara ideal suatu cidera lokal dan memulihkan fungsi jaringan normal.
Pada saat respons radang, meliputi suatu perangkat kompleks berbagai kejadian yang sangat harmonis, garis besar suatu inflamasi adalah sebagai berikut. Stimulus awal radang memicu pelepasan mediator kimiawi dari plasma atau jaringan ikat. Mediator terlarut itu bekerja bersama atau secara berurutan, memperkuat respons awal radang dan mempengaruhi perubahannya dengan mengatur respon selular dan vaskular berikutnya.
Urutan kejadian ekstravasasi leukosit dari lumen pembuluh darah ke ruang ekstravaskular dibagi menjadi yaitu :
1.         Marginasi dan Rolling
Saat darah mengalir dari kapiler menuju venula pascakapiler, sel dalam sirkulasi   dibersihkan oleh aliran laminar melawan dinding pembuluh darah. Selain itu, sel darah merah discoid yang lebih kecil cenderung bergerak lebih cepat daripada sel darah putih  speris yang lebih besar . Akibat pengaruh ini, leukosit terdorong dari sumbu sentral pembuluh darah (tempat leukosit biasanya mengalir) sehingga leukosit memiliki kesempatan lebih baik untuk berinteraksi dengan sel endotel yang melapisinya. Interaksi ini dibantu dengan meningkatkan permeabilitas vascular yang terjadi pada inflamasi yang menyebabkan cairan keluar dari pembuluh darah dan aliran darah melambat. Proses akumulasi leukosit di tepi pembuluh darah ini disebut marginasi. Selanjutnya, leukosit berguling – guling pada permukaan endotel untuk sementara melekat di sepanjang perjalanannya itu.
2.         Adhesi dan Transmigrasi
Leukosit akhirnya melekat kuat pada permukaan endotel (adhesi) sebelu merayap di anatara sel endotel dan melewati membran basalis masuk ke ruang ekstravaskular (diapedesis). Diapedesis leukosit terjadi secara menonjol venula pembuluh darah sistemik, walaupun hal itu juga terjadi di kapiler pada sirkulasi pulmonal . Adhesi kuat ini diperantarai oleh molekul superfamili immunoglobulin pada sel endotel yang berinteraksi dengan sel integrin yang muncul pada permukaan sel leukosit. Molekul adhesi endotel, yaitu ICAM-1 (intercellular adhesion molecule) dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule) 1) ; sitokin, seperti TNF dan IL-1, menginduksi pengeluaran ICAM-1 dan VCAM-1. Setelah adhesi kuat terjadi pada permukaan endotel, leukosit bertransmigrasi terutama dengan merembes diantara sel pada intercellular junction. PECAM-1 (platelet endothelial cell adhesion molecule) merupakan protein yang dominan dalam memerantarai proses ini. Setelah menembus endothelial junction, leukosit menembus membrane basalis dengan mendegradasinya secara fokal menggunakan kolagenase yang disekresi. Rolling, adhesi , dan transmigrasi diperantarai oleh ikatan molekul adhesi komplementer pada leukosit dan permukaan endotel. Mediator kimiawi – kemoatraktan dan sitokin tertentu mempengaruhi proses ini dengan mengatur ekspresi permukaan.
3.         Kemotaksis dan Aktivasi
Setelah terjadi ekstravasasi dari darah, leukosit bermigrasi menuju tempat jejas mendekati gradient kimiawi pada suatu proses yang disebut kemotaksis. Kedua zat endogen dan eksogen dapat bersifat kemotaktik terhadap leukosit, meliputi (1). Produk bakteri yang dapat larut, khususnya peptida dengan N-formilmetionin termini ; (2). Komponen system komplemen, terutama C5a ; (3). Produk metabolisme asam arakidonat (AA) jalur lipoksigenasi, terutama leukotrien B dan (4). Sitokin terutama kelompok kemokin (misalnya IL-8). Molekul kemotaksis berikatan pada reseptor permukaan sel spesifik sehingga menyebabkan aktivasi fospolipase-C yang diperantarai protein G ; fospolipaseC menghidrolisis fosfatidilinositol bifosfat (PIP2) membran plasma menjadi diasiligserol (DAG) dan inositol trifosfat (IP3). Kemudian DAG menyebabkan kejadian sekunder sedangkan IP3 meningkatkan kalsium dan reticulum endoplasma dan dengan influx ekstrasel. Meningkat ya kalsium sitosol memicu perakitan elemen kontraktil sitoskeletal yang diperlukan untuk pergerakan. Leukosit bergerak dengan memperpanjang pseudopodia yang berlabuh ke matriks ekstraselular dan kemudian menarik sel kea rah perpanjangan tersebut.
4.      Fagositosis dan Degranulasi
Fagositosis dan elaborasi enzim degradatif merupakan dua manfaat utama dari adanya leukosit ysng direkrut dari tempat inflamasi. Fagositosis terdiri dari 3 langkah berbeda, tetapi saling terkait : 1). Pengenalan dan perlekatan partikel pada leukosit yang menelan. Peristiwa ini difasilitasi oleh protein serum yang secara umum disebut opsonin ; opsonin mengikat molekul spesifik pada permukaan mikroba dan selanjutnya memfasilisitasi pengikatannya dengan reseptor opsonin spesifik pada leukosit. Opsonin (misalnya, kolektin, atau C3b dan bagian Fc immunoglobulin), (2). Pengikatan partikel teropsonisasi memicu penelanan (engulfment) ; selain itu, pengikatan IgG pada FcR menginduksi aktivasi selular yang memacu degradasi mikroba yang ditelan. Pada penelanan, pseudopodia diperpanjang mengelilingi objek, sampai akhirnya membentuk vakuola fagositik. Membrane vakuola kemudian berdifusi dengan membrane granula lisosom sehingga terjadi pengeluaran kandungan granula masuk ke dalam fagolisosom dan terjadi degranulasi leukosit. (3). Langkah akhir dalam fagositosis yaitu pembunuhan dan degradasi. Pembunuhan mikroba dilakukan sebagian besar oleh spesies oksigen reaktif. Fagositosis merangsang pembakaran oksidatif yang ditandai dengan peningkatan konsumsi oksigen yang tiba – tiba, katabolisme glikogen, peningkatan oksidasi glukosa dan produksi metabolit oksigen reaktif. Mikroorganisme yang mati akibat peristiwa ini kemudian didegradasi oleh kerja hidrolase asam lisosom. Respon radang diakhiri ketika stimulus yang membahayakan menghilang dan mediator radang telah hilang dikatabolisme atau diinhibisi.
  Menjelaskan mekanisme pertahanan terkait dengan sel darah putih
Sistem pertahanan tubuh atau sistem imun kita saat terjadi peradangan tak lepas dari peran leukosit. Saat terjadi inflamasi atau peradangan, sel bergranular atau sel polimorfonuklear ( PMN ) akan bergerak menuju daerah yang cedera. Tanda-tanda dari peradangan yaitu rubor, kalor, dolor, tumor dan fungsiolaesa. Salah satu peristiwa yang terjadi saat peradangan adalah migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan. Saat terjadi cedera, granulosit akan bekerja lebih cepat. Ini yang menjadi salah satu perbedaan dari agranulosit. Perlindungan di lakukan dengan melakukan fagositosis. Neutrofil bergerak dengan cara diapedesis melalui pori-pori kapiler dan dengan cara kemotaksis menuju daerah jaringan yang rusak.
Banyak jenis zat kimia dalam jaringan dapat menyebabkan netrofil dan makrofag bergerak menuju sumber zat kimia. Bila suatu jaringan mengalami peradangan, sedikitnya terbentuk selusin produk yang dapat menyebabkan kemotaksis ke arah area yang mengalami peradangan. Zat-zat ini adalah :
  1. beberapa toksin bakteri atau v irus
  2. produk degeneratif dari jaringan yang meradang itu sendiri
  3. beberapa produk reaksi kompleks komplemen yang diaktifkan di jaringan meradang yaitu C5a (fragmen yang memicu kemotaksis netrofil dan makrofag sehingga menyebabkan sel fagosit ini  bermigrasi ke dalam jaringan yang berbatasan dengan agen antigenik
  4. beberapa produk reaksi yang di sebabkan oleh pembekuan plasma di area yamg meradang
Dalam melakukan fungsi fagositosis, netrofil dan makrofag mengandung bahan bakterisidal yang dapat membunuh sebagian besar bakteri.
Makrofag bekerja di banyak tempat, di kulit, nodus limfe, alveolus paru, sinusoid hati ( disebut sel kupffer), di limpa dan sumsum tulang.
 Peran eosinofil.
Eosinofil merupakan sel fagosit yang lemah , dan menunjukkan fenomena kemotaksis. Namun eosinofil sering diproduksi dalam jumlah besar ketika terjadi infeksi parasit. Eosinofil akan melekatkan diri pada parasit dan melepaskan zat yang dapat membunuh parasit.
Eosinofil juga mempunyai kecendeungan khusus untuk berkumpul di jaringan tempat berlagsungnya reaksi alergi. Begitupun dengan sel mast dan basofil. Sel mast dan basofil melepaskan faktor kemotaktik eosinofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi ke arah jaringan alergik yang meradang. Eosinofil di duga mampu mendetoksifikasi beberapa zat pencetus peradangan yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil.
Basofil serupa dengan sel mast jaringan yang besar. Keduanya melepaskan histamin, bradikinin serta serotonin dan berperan saat terjadi reaksi alergi karena antibodi yang menyebabkan reaksi alergi yaitu IgE yang mempunyai kecenderungan khusus untuk melekat pada sel mast dan basofil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar